Soal Simbol Komunis, Wakil Ketua DPR RI Sebut Polisi Kecolongan

Senin , 17 Aug 2015, 14:36 WIB
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fadli Zon
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fadli Zon

REPUBLIKA.CO.ID,CIBINONG – Menjelang 17 Agustus, di sejumlah daerah simbol-simbol komunisme marak ditampilkan ke hadapan publik. Misalnya, pada karnaval perayaan HUT Republik Indonesia ke-70 di Pamekasan, Jawa Timur.

Atribut dan gambar tokoh-tokoh Partai Komunisme Indonesia (PKI) dipertontonkan. Kejadian serupa juga terjadi di Jember dan Salatiga belakangan ini.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menegaskan, aparat penegak hukum mesti tegas mengusut pelaku di tiga tempat tersebut. Fadli menilai, kepolisian sudah kecolongan karena simbol-simbol komunisme justru ditampilkan pada saat perayaan HUT RI.

“Kita tidak bisa mentolerir ini terjadi.  Ini adalah suatu penistaan hari kemerdekaan kita,” ucap Fadli Zon ketika ditemui pada Koalisi Merah Putih (KMP), Cibonong, Jawa Barat, Senin (17/8).

Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 25 Tahun 1966 memutuskan, pembubaran PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Regulasi itu juga memutuskan, paham komunisme dilarang disebarluaskan di Indonesia.

Karena itu, menurut Fadli, mempertontonkan simbol PKI atau komunisme di muka umum merupakan pelanggaran hukum, meskipun hal itu bertujuan mengenang histori bangsa. Dia menambahkan, sebelum dinyatakan sebagai partai terlarang, PKI telah dua kali melakukan percobaan kudeta terhadap Indonesia.

Pertama, pada tahun 1948 atau tepat ketika Indonesia tengah didera agresi militer Belanda. Kedua, pada 1965 atau dikenal pula dengan peristiwa G30S. Sehingga, tegas Fadli, paham komunisme sama sekali tak pantas didukung.

“Kalau kita baca sejarah, mereka (komunis) mengecam 17 Agustus sebagai revolusi yang gagal. Itu (disebutkan) di dalam tulisan-tulisan Aidit (tokoh PKI) saat itu,” ucap Fadli.

“Karena komunisme itu adalah ajaran yang memang memerintahkan pengambilalihan kekuasaan. Kudeta adalah bagian dari ajaran komunis,” tambah dia.

Hanya saja, pihaknya tidak ingin rakyat Indonesia kembali mengorek luka lama sejarah bangsa. Di sisi lain, kata dia, pemberlakuan Tap MPRS Nomor 25/1966 tak bisa dianggap sebagai diskriminasi atau tindakan nirdemokratis.

Fadli mencontohkan negara Jerman. Setelah Hitler mangkat, paham Nazisme dikategorikan sebagai paham terlarang oleh pemerintah Jerman. Dan Jerman tak kagok disebut sebagai negara antidemokrasi karena berkeyakinan, paham Nazi justru merusak tatanan demokrasi.

Fadli juga melihat, kini ada kecenderungan anak-anak muda untuk diajak terpikat pada simbol-simbol komunisme. Hal ini cukup marak ditemui melalui internet.

Namun, lanjut dia, anak-anak muda ini kerap secara dangkal mempelajari penerapan ideologi komunisme di pelbagai belahan dunia. Sebab, faktanya, komunisme sudah terbukti sebagai ajaran yang gagal dan tak laku. Sebut saja Uni Soviet yang pecah berantakan dan Korea Utara.

“Di mana-mana. Tak ada yang namanya sama rata, sama rasa. Yang ada, sama-sama miskin. Itu ada di negara komunis,” tutup dia.