Sabtu 20 Jun 2020 11:59 WIB

Deislamisasi Sejarah Indonesia

Ada banyak upaya untuk mengaburkan sejarah Islam di Indonesia

Red:
Presiden Sukarno (tengah) menerima Robert Kennedy (kiri) dan istrinya Ethel Kennedy (kanan)
Foto: IST
Presiden Sukarno (tengah) menerima Robert Kennedy (kiri) dan istrinya Ethel Kennedy (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Wilda Fizriyani 

Pendidikan sejarah di sekolah, kata Ahmad Mansur Suryanegara, memiliki andil besar mengaburkan sejarah Islam di Indonesia. Buku-buku pelajaran sejarah banyak mengacu pada buku-buku sejarah yang sumbernya adalah sudut pandang Belanda.

Menurut sejarawan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu, Belanda memiliki tujuan tertentu ketika masih menjajah Indonesia, yakni berupaya mengaburkan sejarah Islam di Indonesia.

"Karena pemerintahan kolonial Belanda mendapatkan perlawanan dari umat Islam," kata Mansur.

Maka, kata Mansur, wajar bila Belanda lantas berupaya menghilangkan atau mengaburkan peran kesejarahan umat Islam Indonesia.

Agus Sunyoto, dari Padepokan Dakwah Sunan Kalijogo, menyebutkan perlawanan raja-raja Muslim terhadap bangsa Eropa di nusantara mendapat dukungan dari guru tarekat dan ulama pesantren.

"Hubungan pribumi Muslim yang berbasis pesantren dengan bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris nyaris tidak terjembatani," ujar Agus.

Agus menyingggung perlawanan Sultan Baabullah terhadap Portugis di Ternate. Ia memimpin rakyatnya mengepung Benteng Gamalama selama lima tahun. Sehingga, pada 1575, Portugis terusir dari Ternate. Di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Jawa, sultan-sultan Muslim juga melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Bahkan, saat Belanda berkeinginan membuat kantor di Banten, banyak pribumi Muslim dengan tegas menolaknya. Sudah puluhan kali perlawanan yang dilakukan umat Muslim semenjak 1600 hingga akhir masa penjajahan Belanda. "Perlawanan dari Kerajaan Islam Ternate Tidore, Gowa-Tallo, dan sebagainya," ujar Agus.

Menurut Mansur, peniadaan atau pengaburan sejarah Islam di Indonesia sangat mudah terjadi. Menurut Mansur, hal ini bisa terjadi akibat para ulama membiarkan sejarah Islam Indonesia ditulis oleh penulis yang tidak punya rasa hormat pada ulama atau Islam.

Anggapan ketidakpedulian  ulama terhadap penulisan sejarah tidak sepenuhnya datang dari para sejarawan seperti penulis buku Api Sejarah itu. Penilaian ini juga pernah diungkapkan oleh Sukarno.

Di buku Di Bawah Bendera Revolusi, Sukarno menyebut para ulama tidak memiliki feeling  terhadap sejarah. Jika pun ada, menurut Bung Karno, itu hanya membaca tarikh, hanya mengambil "abu sejarahnya", tetapi tidak pernah menangkap "api sejarahnya."

Penyebab utamanya, menurut Mansur, karena para ulama terlalu terbenam dalam mengkaji ilmu fikih atau hadis. Akibatnya, mereka pun tidak memperhatikan penulisan sejarah Islam Indonesia yang benar dan tepat.

Mereka tampak cukup puas dengan silsilah yang berisikan deretan nama yang tertera dalam buku sejarah. "Dan kadang dituliskan pula makamnya," kata Mansur. Namun, mereka jelas tidak mengetahui secara pasti mengenai kisah peristiwa yang pernah terjadi di masa tokoh-tokoh itu hidup.

Kehadiran Belanda yang mendapat perlawanan umat Islam berbeda dengan kehadiran bangsa lain sebelumnya yang datang pada saat Sriwijaya maupun Majapahit mengalami masa-masa surut.

Mansur berpendapat, bentuk perlawanan yang berbeda dari ketiga umat agama itulah yang menyebabkan adanya peniadaan atau pengaburan sejarah terhadap Islam. Dia memahami bahwa Belanda pasti akan berupaya menghilangkan dan mengaburkan peran kesejarahan umat Islam Indonesia.

Pada akhirnya, kata Mansur, Belanda pun mencurahkan perhatian dan penelitiannya serta pemugaran sejarah Indonesia hanya pada peradaban Buddha dan Hindu. Sejarah Islam Indonesia yang sekalipun dianggap sebagai agama mayoritas pribumi Indonesia pun dikaburkan penulisannya.

Mansur menjelaskan, pascakemerdekaan, Indonesia mulai membentuk pemerintahannya dengan menentukan jabatan-jabatan yang dianggap sesuai dengan beberapa pihak. Namun, secara tidak sadar, banyak pejabat terutama yang menduduki departemen pusat di Jakarta merupakan orang-orang yang pernah memegang jabatan sebagai pelaksana indirect rule pemerintahan kolonial Belanda.

Banyak ambtenar kantor pada zaman pemerintahan kolonial Belanda yang menduduki jabatan Departemen Pendidikan Kebudayaan dan Pengajaran pada waktu itu. Dengan adanya situasi tersebut, jelas telah mengakibatkan banyak hal, terutama dalam penulisan sejarah yang efeknya terasa hingga saat ini.

Orientasi mereka juga terpusat pada peradaban Buddha, Hindu, dan Kong Fu Tsu. Artinya, mereka dengan tegas memperlihatkan kebijakan yang serupa dengan pemerintahan kolonial Belanda mengenai penulisan sejarah.

Semua hasil dari kebijakan pemerintah tersebut bisa dirasakan saat ini. Rakyat Indonesia bisa dengan mudahnya membaca salah satu buku sejarah untuk SMA. Di buku itu penjelasan tentang sejarah Hindu, Buddha, dan Kong Fu Tsu bisa beratus-ratus halaman.

Sebaliknya, sejarah Islam dari zaman Rasulullah SAW hingga Islam berkembang ke Indonesia hanya mendapat jatah empat halaman. Bahkan, kisah tentang Khulafaur Rasyidin hanya memiliki satu halaman. Kondisi-kondisi tersebut dengan tegas menggambarkan adanya pengaburan dan peniadaan sejarah Islam di nusantara ini.

Begitu banyak isi sejarah Indonesia yang menyimpang dari yang sebenarnya. Misalnya, mengenai anggapan organisasi Budi Utomo sebagai perintis gerakan kebangkitan nasional di Indonesia. Konsep anggapan ini sendiri sudah banyak memperoleh respons penolakan dari pihak-pihak yang mengetahui benar ihwal uraian dari organisasi tersebut.

Budi Utomo (BU) merupakan organisasi yang didirikan oleh Wahidin Sudirohusodo, Sutomo, Cipto Mangunkusumo, dan Gunawan Mangunkusumo. Organisasi ini diketahui hanya melakukan pergerakan di wilayah Jawa dengan sasaran utamanya, yakni rakyat Jawa. Menurut Mansur, ruang gerak dan sasaran inilah yang menyebabkan beberapa pihak kurang menyetujui organisasi ini sebagai pelopor pergerakan nasional yang pertama di Indonesia.

Menurut Mansur, sebagian ahli sejarah menyebutkan, istilah nasional mulai dipublikasikan ke masyarakat oleh organisasi Syarikat Islam (SI) dalam National Congres Central Sjarikat Islam - 1e Natico di Bandung, 17-24 Juni 1916. Namun, karena organisasi berkenaan dengan Islamlah yang menyebabkan SI tidak dijadikan pelopor dalam gerakan nasional ini. Oleh karena itu, SI tidak dianggap sebagai pelopor pengguna pertama istilah Indonesia dan Indonesia merdeka dalam masa kebangkitan pada masa itu.

Namun, argumen soal nasionalisme terkait dengan BU dan SI masih bisa mengundang perdebatan. Semangat nasionalisme pun sudah ditampakkan oleh RA Kartini, jauh hari sebelum SI berdiri menggantikan Serikat Dagang Islam (SDI). Nasionalisme Kartini berwujud dalam bentuk kepedulian Kartini terhadap kelanjutan pendidikan Agus Salim, pemuda di Minangkabau.

RA Kartini mendapat beasiswa dari Belanda, tapi ia terhalang oleh tradisi Jawa. Ia tidak mendapat izin orang tuanya untuk melanjutkan sekolah. Ketika ia mengetahui Agus Salim memiliki nilai tertinggi, ia lantas mengalihkan beasiswanya kepada Agus Salim. Padahal, Kartini tidak mengenal Agus Salim.

Sebelum BU berdiri, Kartini juga sempat menulis artikel di koran, perlunya para priyayi menyekolahkan anak-anaknya. BU didirikan dengan maksud mendorong priyayi memperhatikan pendidikan rakyatnya. Maka, nasionalisme ala Kartini ini kemudian mewujud dalam organisasi BU, yang tanggal pendiriannya diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 1948 sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pengaburan sejarah Islam nusantara juga telah terjadi pada hal yang berkenaan dengan nasib Kerajaan Hindu Padjadjaran dan Kesultanan Banten. Berdasarkan isi sejarah yang beredar pada umumnya, Panembahan Yusuf Sultan Kedua Banten menaklukkan Pakuan, melakukan pembantaian, dan pemaksaan terhadap seluruh keluarga istana. Isi sejarah ini pernah ditulis oleh DGE Hail dalam buku A History of South East Asia.

Begitu banyak istilah yang bernuansa Islam di bumi Indonesia ini. Fenomena ini telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mengalami keterkaitan kuat dengan keislaman. Bahkan, penyebutan ilmu masa lalu sebagai sejarah di Indonesia ini tidak lepas dari pengaruh Islam di dalamnya.

Seperti yang diketahui dalam buku sejarah Indonesia pada umumnya, kata "sejarah" berasal dari bahasa Arab, syajaroh. "Arti harfiah dari kata syajaroh ini memiliki arti pohon," jelas Mansur.

Maksudnya, kata Mansur, kisah aktivitas manusia yang menciptakan perubahan besar tata kemasyarakatan diibaratkan seperti biji kecil yang berubah menjadi pohon rindang.

"Secara istilah, penyebutan sejarah memang diambil dari bahasa Arab bukan Sansekerta atau Inggris," ujar Mansur. Namun, isi di dalam sejarah Indonesia malah mengalami pengaburan atau deislamisasi sejarah Islam.

Mansur menyebutkan, banyak pemikir Islam yang telah menuliskan naskah. Naskah-naskah mereka jelas telah dibiarkan untuk tidak diungkapkan uraiannya dalam sejarah Indonesia.

"Sekeping Prasasti Hindu dibicarakan berlebihan sehingga Hindu dan Buddha yang hanya dengan satu candi atau satu patung dinilai berpengaruh di nusantara," ungkap Mansyur.

Sebaliknya, lanjut Mansur, Islam dengan berjuta masjid dan naskah dinilai tidak memiliki pengaruh kuat dalam membentuk budaya dan peradaban bangsa Indonesia.

BACA JUGA: Sejarah Islam Indonesia, Sejarah Telur Mata Sapi

(ed: Priyantono Oemar)

*Tulisan pertama diposting di Republika Online pada 19 Juni 2015. Artikel ini merupakan posting ulang dengan beberapa editing. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement