Jumat 27 Mar 2015 19:51 WIB

Bercadar, Wajib, Sunah, atau Mubah?

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA--Banyak spekulasi masyarakat ketika melihat seorang Muslimah yang tampil menggunakan cadar. Ada yang berpandangan orang bercadar adalah orang sangat mendalam pemahaman agamanya.

Ada juga yang berpendapat, mereka terlalu berlebih-lebihan dalam beragama atau membuat sulit sesuatu yang dimudahkan Allah SWT. Karena hukum fikih yang masyhur tentang aurat wanita, wajah dan telapak tangan bukanlah termasuk aurat. Bahkan, ada juga yang mengklaim, wanita bercadar merupakan kelompok ekstremis yang memiliki pandangan Islam radikal.

Dalam fikih Islam, memang terdapat berbagai pandangan para fuqaha (ahli fikih) tentang cadar. Pandangan para fuqaha terkait tafsir ayat dalam surat an-Nur (24) ayat 31, “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.”

Apakah yang biasa tampak dari wanita? Di sinilah muncul berbagai pendapat para ulama. Mayoritas ulama berpandangan, yang biasa tampak dari wanita ketika ayat ini diturunkan adalah wajah dan telapak tangan. Namun, ada juga pendapat-pendapat lainnya yang menafsirkan lain.

Seperti Mazhab Syafi'i dan Hanbali yang menganggap aurat wanita adalah seluruh tubuhnya. Kedua mazhab ini memerintahkan Muslimah untuk menutupi wajahnya dengan cadar. Para ulama dari mazhab ini berpandangan, ketika turunnya ayat hijab tersebut, para Muslimah langsung seketika itu mencari kain apa saja untuk menutupi aurat mereka.

Hal ini dikisahkan oleh Aisyah RA, “(Wanita-wanita Muhajirin) ketika turun ayat ini 'Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka' (QS an-Nur [24]:31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR Bukhari). Aisyah RA juga mencontohkan bagaimana ketika itu para Muslimah berpakaian setelah turunnya ayat tersebut, yaitu dengan menutupi wajah mereka.

Para ulama dari kedua mazhab ini sering mengampanyekan betapa Islam menjaga wanita dengan menutupi seluruh tubuh mereka. Muhammad bin Qaasim al-Ghazzi dalam kitabnya Fathul Qaarib juga berpendapat sama. “Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan,” katanya memaparkan.

Pendapat lainnya, Manshur bin Yunus bin Idris al-Bahuti dalam Kasyful Qanaa’ berpendapat sama. Menurutnya, wajah dan telapak tangan adalah aurat ketika shalat. "Adapun di luar shalat karena adanya pandangan, maka hukumnya sama seperti anggota badan lainnya." jelasnya.

Sedangkan, ulama yang tidak mewajibkan cadar adalah ulama Hanafi dan Maliki. Ulama Hanafi Asy Syaranbalali mengatakan, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar. "Ini pendapat yang lebih sahih dan merupakan pilihan mazhab kami," kata Asy Syaranbali dalam Matan Nuurul Iidhah.

Kendati hukumnya bukanlah wajib, ulama Hanbali menganjurkan kaum Muslimah untuk mengenakan cadar dengan tujuan agar aman dari fitnah dan gangguan. "Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki," ungkap Muhammad ‘Alaa-uddin dalam kitabnya, Ad-Dur Al-Muntaqa.

Ulama besar Mazhab Maliki Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya berpendapat, jika seorang wanita memiliki rupa yang cantik dan khawatir wajah dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Namun, bagi wanita yang sudah tua, mereka boleh saja menampakkan wajahnya.

Dari sekian banyak pendapat ulama, tak ada satu pun ulama yang secara tegas mewajibkan untuk memakai cadar sebagaimana wajibnya memakai jilbab. Ada ulama yang sebatas menyarankan, namun ada pula yang setengah mewajibkan. Hal itu semata-mata kembali pada kondisi dan situasi. Jika akan menimbulkan fitnah dan membuat mata lelaki jelalatan memandang wajahnya, tentu lebih disarankan untuk memakai cadar.

Kalangan Salafi, yang sangat kuat mengampanyekan cadar untuk pengikutnya, tidaklah sampai pada taraf mewajibkan. Dalam artian, siapa yang tidak memakai cadar adalah berdosa. Bahkan, ulama Salafi sendiri, Syekh Nasruddin al-Banni, pun tak berani mengatakan bahwa cadar adalah wajib. "Saya tidak mengatakan cadar itu wajib. Tetapi, istri dan keluarga saya, saya perintahkan untuk memakainya,” ujar al-Banni dalam kumpulan fatwanya.

Hal ini disebabkan adanya hadis sahih yang secara jelas berbicara soal batasan aurat wanita. Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW pernah mengingatkan Asma' binti Abu Bakar, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita apabila telah baligh tidak boleh lagi tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan telapak tangannya).” (HR Abu Dawud).

Persoalan memakai cadar, mayoritas ulama lebih mengedepankan kondisi dan situasi dalam menetapkan hukumnya bagi para Muslimah. Jika ia berada dalam lingkungan yang aman dan jauh dari pandangan laki-laki ajnabi (laki-laki asing), tentu memakai cadar tidak lagi dibutuhkan. Memakai cadar bisa juga sebagai syiar syariat Islam kepada masyarakat. Namun, hal ini juga bisa berbalik dan menjadikan masyarakat antipati dengan syariat Islam.

Di beberapa lingkungan, memakai cadar malah mengundang sinis dari masyarakat. Orang bercadar dianggap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam beragama. Tentu di lingkungan seperti ini, jika seorang Muslimah tampil dengan cadarnya akan menyulitkan dakwah. Awalnya, masyarakat mau bersimpati dengan dakwah, akibat tampil dengan cadar, mereka jadi bersikap sinis dan menjauh. Allahu a'lam. Oleh Hannan Putra ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement