Jumat 20 Mar 2015 11:00 WIB

Hukum Nikah Siri

Red:

Fenomena nikah siri kembali mencuat. Beberapa bahkan menggunakan teknologi untuk menawarkan jasa pernikahan siri, seperti nikah siri online. Praktik nikah siri menjadi perhatian serius Kementerian Agama (Kemenag). Bagaimana sebenarnya Islam memandang nikah siri?

Menikah secara sirri (rahasia) bukanlah tradisi umat Islam. Syariat memerintahkan agar momen pernikahan yang sakral tersebut dipublikasikan ke tengah-tengah khalayak ramai. Sabda Rasulullah SAW, "Rahasiakanlah khitbah (lamaran) umumkanlah pernikahan." (HR Ibnu Hibban dan Thabrani). Dalam hadis lain juga disebutkan, "Umumkanlah pernikahan, selenggarakanlah di masjid, dan bunyikanlah tetabuhan." (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Saat masa Rasulullah SAW, tidak dikenal istilah nikah siri ini. Jika definisi nikah siri yang beredar di masyarakat adalah menikah tanpa mencatatkan diri ke KUA maka nikah ini tentu saja sah secara agama. Istilah nikah ini, yakni nikah di bawah tangan. Hal itu sudah diakui keabsahannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri jika terpenuhi seluruh syarat dan rukunnya.

Pencatatan nikah baru dimulai semenjak tahun 1974 dengan keluarnya UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam  Pasal 2 Ayat (2) disebutkan, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Waktu itu para ulama Indonesia sepakat untuk mencatatkan pernikahan secara formal dalam pencatatan negara. Sebagai negara maju, minimal harus ada tiga pencatatan, yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian. Namun, negara tidak memungkiri keabsahan pernikahan yang tidak dicatatkan melalui KUA selama pernikahan tersebut dipandang sah secara hukum agama.

Hal ini diterangkan dalam Pasal 2 Ayat (2) yang disusun secara generik dengan Pasal 2 Ayat (1). Bunyinya, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Jadi, keabsahan suatu pernikahan tidak ada hubungannya dengan pencatatan nikah.

Definisi lainnya dari nikah siri, yaitu menikah tanpa wali. Seorang perempuan dinikahkan oleh seseorang yang memosisikan dirinya sebagai wali hakim tanpa sepengetahuan wali perempuan. Kasus ini marak terjadi. Seorang ayah tak sadar bahwa putrinya telah menikah dengan orang lain tanpa sepengetahuannya.

Jumhur (mayoritas) ulama mazhab tetap mensyaratkan adanya wali sebagai rukun pernikahan. Tanpa adanya wali, pernikahan dianggap tidak sah. Hal ini berdalil dari hadis Abu Burdah RA yang menyebutkan, "Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali." (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Ulama lainnya,seperti Imam Abu Hanifah, memang tidak mensyaratkan wali sebagai rukun nikah. Pendapat inilah yang banyak dipelintir sebagian orang untuk melegalkan nikah siri bahwa menikah tanpa wali ialah sah. Namun perlu dipahami, pernikahan yang dimaksudkan oleh Abu Hanifah, yakni wanita yang telah janda atau mempunyai kuasa atas dirinya. Misalnya, wanita tersebut tidak memiliki wali (ayah, kakak, kakek, dan sebagainya) dan ia memiliki kuasa atas dirinya tersebut.

Wanita dalam posisi itu, menurut Abu Hanifah, tidak disayaratkan wali dalam pernikahannya. Menurutnya, kehadiran wali dalam posisi wanita tersebut tidaklah mutlak dan tidak perlu keizinan wali untuk menikahkan. Adapun wanita yang masih dalam kuasa walinya, seperti gadis perawan dan remaja putri yang masih dalam tanggung jawab orang tuanya, tentulah Abu Hanifah akan sepakat dengan pendapat jumhur.

Abu Hanifah berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, "Wanita yang sudah tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya." (HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Hadis ini mengisyaratkan bahwa wanita janda memiliki kuasa atas dirinya dibanding walinya. Syaratnya, wanita ini menikah dengan laki-laki yang sekufu pula dengan dirinya.

Hadis ini menjadi perdebatan sengit di antara para pakar hadis. Ulama hadis Muhammad bin Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan, hadis itu di dipersoalkan kesahihan sanadnya.

Sufyan al-Thawri dan Shu’bah bin al-Hajjaj mengatakan hadis tersebuy mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani, seorang yang tsiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Baihaqi semua perawinya, yakni tsiqah (tepercaya), tetapi hanya mawquf pada Abu Hurairah.

Pakar ilmu fikih jebolan Al Azhar Mesir, Syekh Abdurrahman al-Jaziri, mengatakan, kedua pendapat tersebut bisa dipakai. Menurutnya, Islam tidak kaku terhadap suatu hukum jika berbenturan dengan kondisi dan situasi. Di sinilah tampak kesyumulan dan kesesuaian Islam untuk menyelesaikan masalah masyarakat pada setiap masa dan tempat sehingga tidak ada seorang pun yang teraniaya.

Menurutnya, kedua pendapat ini sama bagusnya, bisa diterima akal, dan bisa diamalkan. Ia memberikan jalan tengah. Pertama, ikutilah pendapat jumhur. Namun, jika terhalang karena alasan yang syar’i, tidak ada salahnya memakai pendapat Abu Hanifah. Dan, hal itu bukanlah tindakan yang tercela.

Jadi jelaslah, menikah tanpa wali yang dimaksudkan Abu Hanifah tidak bisa dijadikan dalil melegalisir praktik nikah siri yang saat ini meresahkan umat. Pembolehan Abu Hanifah berangkat dari zuruf (alasan-alasan) tertentu. Abu Hanifah tidak ingin orang yang ingin menjalankan syariat menjadi terbebani. Allahu a’lam. n ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement