Rabu 04 Feb 2015 17:52 WIB

Dilema Pajak Barang Mewah Properti

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Kementerian Keuangan Republik Indonesia saat ini sedang mengkaji revisi atas pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Sektor properti adalah salah satu sektor yang akan menjadi sasaran revisi peraturan tersebut. Hal ini dilakukan demi meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.

Namun, kalangan pelaku industri properti khawatir rencana itu akan memengaruhi pertumbuhan properti. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan peraturan tersebut kurang sesuai dengan kondisi saat ini. Ia menyadari perluasan objek pajak tersebut dimaksudkan untuk menambah pendapatan negara. Namun, Eddy berharap agar peraturan itu jangan sampai terlalu membebani pihak lain. “Peraturan itu akan memberatkan konsumen,” kata Eddy Hussy.

Saat ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menyiapkan revisi terkait objek pemungutan Pajak Penghasilan (PPh 22) terhadap transaksi barang yang tergolong sangat mewah. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK/03/2008 tertanggal 31 Desember 2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.

Selain itu, Pemerintah juga sedang mempertimbangkan rencana perubahan PMK Nomor 130/PMK.011/2013 tertanggal 26 Agustus 2013 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 121/PMK.011/2013 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Revisi itu mewacanakan, nantinya rumah tapak dengan harga Rp 2 miliar dan luas bangunan beserta tanah lebih dari 400 meter persegi sudah digolongkan sebagai barang sangat mewah. Sedangkan, saat ini rumah tapak yang digolongkan sangat mewah adalah rumah senilai Rp 10 miliar dan luas bangunan serta tanah lebih dari 500 meter persegi.

Selain itu, revisi itu juga mewacanakan, nantinya hunian vertikal atau apartemen seharga Rp 2 miliar dan luas bangunan lebih dari 150 meter peregi telah digolongkan sebagai barang sangat mewah. Padahal, saat ini hunian vertikal atau apartemen yang digolongkan sangat mewah adalah apartemen dengan nilai Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 400 meter persegi. Rencana revisi itu membuat rumah tapak senilai Rp 2 miliar atau Rp 5 juta per meter persegi dan apartemen senilai Rp 2 miliar atau Rp 13,3 juta per meter persegi sudah dikategorikan sebagai barang sangat mewah. “Peraturan itu kurang tepat,” kata Eddy.

Jika peraturan itu diterapkan, nantinya rumah dan apartemen dengan spesifikasi tersebut akan dikenakan pajak penjualan sebesar 45 persen. Pajak itu terdiri atas Pajak Pertambahan NIlai (PPN) 10 persen, Pajak Penghasilan (PPh) 5 persen, Pajak Pertambahan NIlai Barang Mewah (PPnBM) 20 persen, Pajak Sangat Mewah 5 persen dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen.

Padahal, selain itu semua, sebelumnya pengembang juga telah dikenakan pajak kontraktor, baik Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan, akuisisi lahan, maupun sertifikat induk. Cakupan nilai properti yang masuk dalam revisi itu dianggap kurang sesuai karena harga jual rusunami di Jabodetabek saja sudah sekitar Rp 9 juta per meter persegi. “Harga itu sudah sesuai dengan Permenpera Nomor 3 Tahun 2014,” tuturnya.

Wacana Revisi itu dilakukan demi memenuhi target penerimanaan kas negara pada 2015. Tahun ini, negara menargetkan pendapatan sebesar Rp 1.300 triliun dari sektor perpajakan.  Eddy mengatakan, sektor properti sepanjang 2014 mengalami perlambatan pertumbuhan penjualan. Perlambatan itu kemungkinan akan berlanjut hingga tahun ini. “Jika revisi diterapkan, tahun ini akan semakin berat,” katanya.

Perlambatan di sektor properti juga berdampak pada sektor industri lainnya. Industri properti memiliki industri turunan sebanyak 174 sektor industri. Revisi peraturan perpajakan ini nantinya berpotensi mengurangi minat masyarakat untuk membeli hunian. Nantinya hal ini akan berdampak kepada pengembang, perbankan, serta industri-industri lainya. “Saat ini kami sedang melakukan koordinasi dengan pihak terkait agar nantinya peraturan yang diterapkan baik untuk semua pihak,” tuturnya.

Kebijakan Kontraproduktif

Pengamat ekonomi Aviliani mengatakan, rencana penurunan batas harga barang mewah justru memiliki dampak negatif bagi negara. Konsumen akan lebih memilih membeli properti di luar negeri sehingga berdampak pada penurunan devisa dan pajak negara. Rencana revisi itu dimaksudkan untuk mengejar pendapatan pajak sebesar Rp 1 triliun. “Peraturan itu kurang efektif dalam mencapai target pendapatan negara,” kata Aviliani.

Ia mengatakan, nantinya konsumen lebih memilih untuk berinvestasi properti di Amerika Serikat karena harganya saat ini sedang murah. Devisa keluar, negara tidak mendapatkan pemasukan pajak dan pengembang juga rugi. Kalau saat ini properti senilai Rp 10 miliar ke atas termasuk objek PPnBM, itu masih wajar. Sedangkan, strategi penarikan pajak dengan menurunkan batas harga barang mewah dinilai kurang tepat. Properti seharga Rp 2 miliar yang ditetapkan sebagai barang mewah kini sudah mampu dibeli oleh kalangan menengah. 

Seharusnya,  pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak dari pihak yang masih belum membayar pajak. “Sektor informal adalah sektor yang masih sering lolos dari penarikan pajak pemerintah,” kata Aviliani.

Dari 118 juta orang angkatan kerja, yang sudah membayar pajak baru 25 juta orang saja. Jadi sebenarnya pemerintah masih memiliki potensi pendapatan dari pihak yang belum mau membayar pajak. Aviliani mencontohkan, omzet dari kegiatan ekonomi di kawasan bisnis, seperti Mangga Dua dan Tanah Abang yang mencapai miliaran rupiah. “Sebagian besar mereka belum membayar pajak, potensi ini harus dioptimalkan,” katanya.

Ia merekomendasikan batas harga barang mewah properti yang lebih tepat seharusnya berada pada kisaran Rp 5 miliar. Nilai itu merupakan setengah dari nilai sebelumnya yakni Rp 10 miliar. “Jika nilainya Rp 5 miliar mungkin cukup tepat dan bisa diterima,” kata Aviliani.

Meski penambahan objek pajak rumah mewah tersebut sebagai strategi pemerintah dalam menggenjot penerimaan pajak pada tahun ini, Direktur Utama PT Ciputra Surya Tbk Harun Hajadi mengatakan, pengembang merasa keberatan. Dengan demikian, biaya untuk membeli properti akan semakin meningkat akibat PPh rumah mewah di atas Rp 2 miliar akan dikenakan pajak tambahan sebesar 5 persen dari harga jual. "Hal ini cukup memberatkan konsumen, nantinya pengembang juga akan terkena dampaknya,” kata Harun.

Menurutnya, landasan kebijakan pengenaan pajak barang mewah atas properti ini kurang begitu jelas. Menurut Harun, properti kelas menengah di Jakarta saja harganya telah mencapai Rp 2 miliar. “Seharusnya, nilai patokan ditambah, bukan diturunkan menjadi Rp 2 miliar,” katanya.

Melihat adanya potensi penerapan kebijakan perpajakan yang kontraproduktif tersebut, pihaknya tahun ini tidak menetapkan target pertumbuhan yang terlalu tinggi, meskipun kondisi likuiditas tahun 2015 akan lebih baik dibanding 2014. “Kami hanya menargetkan pertumbuhan penjualan sebesar 10 persen,” kata Harun.   c72 ed: Hiru Muhammad

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement