Selasa 30 Dec 2014 17:00 WIB

Pemerintah Tanggung Biaya Legalitas Kayu untuk IKM

Red:

JAKARTA — Industri kayu merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi cukup besar untuk ekspor. Namun, selama ini sektor industri tersebut masih terkendala dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi industri kecil dan menengah (IKM). Padahal, jumlah IKM sektor industri kayu dan mebel memberikan kontribusi besar dalam ekspor.

Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono, mengatakan, pemerintah akan membantu pembiayaan untuk mendapatkan sertifikasi bagi IKM. Ada sekitar 1.200 IKM yang akan mendapatkan bantuan dana untuk mendapatkan sertifikasi sekaligus pendampingan dan pelatihan.

"Dana yang dibutuhkan untuk sertifikasi saja mencapai Rp 10 miliar, ditambah dengan pendampingan dan pelatihan bisa mencapai sekitar Rp 30 miliar sampai Rp 50 miliar," ujar Bambang di Jakarta, Senin (29/12).

Bambang menambahkan, dana tersebut diambil dari APBN, anggaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta anggaran dari kementerian terkait. Selain itu, ada beberapa lembaga dan lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) yang sudah menyatakan siap untuk membantu pembiayaan sertifikasi tersebut.

Ia menyebutkan, IKM yang mendapatkan prioritas untuk memperoleh bantuan tersebut, yakni IKM yang memiliki nilai investasi mencapai Rp 10 miliar, dan berada di sentra-sentra kerajinan dan mebel, seperti Jepara, Yogyakarta, Solo, Klaten, Denpasar, Cirebon, Pasuruan, dan Jombang.

"Kita menargetkan proses sertifikasi ini bisa selesai dalam waktu enam bulan dan akan dimulai pada 1 Januari 2015," kata Bambang.

Bambang menambahkan, IKM yang belum mempunyai SLK tetap dapat melakukan ekspor dengan menyertai dokumen ekspor. Sambil prosesnya berjalan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan fasilitasi untuk membuatkan SLK. Bambang mengatakan, IKM telah menyumbang pendapatan ekspor sebesar 800 juta dolar AS.

Dengan dukungan kemudahan sertifikasi ini, Bambang optimistis pendapatan ekspor mebel dan produk kayu di IKM dapat mencapai satu miliar dolar AS. Selain itu, pemerintah juga meminta kepada daerah untuk memberikan kemudahan birokrasi yang terkait dengan perizinan.

Selain itu, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengatakan, untuk memudahkan ekspor produk industri kehutanan, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri No.97/M-DAG/PER/12/2014. Selain itu, Kementerian Perdagangan juga melakukan sinergi kepada kementerian terkait, yakni Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk melakukan ekspor di sektor industri kayu dan mebel.

Sebagai wujud atas lahirnya Permendag ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri No. P.95/Menhut-II/2014 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

"Tujuan peraturan menteri ini untuk memberikan kemudahan dan kelancaran kepada pelaku usaha skala besar maupun IKM agar mendorong peningkatan ekspor," ujar Rachmat.

Rachmat menambahkan, permen tersebut tetap mendukung kelancaran ekspor produk kayu yang memenuhi SVLK. Bagi IKM yang belum memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) dapat menggunakan Deklarasi Ekspor sebagai pengganti dokumen legal.

Setiap satu kali Deklarasi Ekspor hanya dapat digunakan satu kali penyampaian pemberitahuan kepabeaan ekspor dan ketentuan ini berlaku sampai 31 Desember 2015. "Inti dari Permendag yang baru ini, mengatur penyertaan dokumen Deklarasi Ekspor bagi IKM pemilik Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) yang belum memiliki SLK pada saat melakukan ekspor sebagai pengganti Dokumen V-Legal," kata Rachmat.

Ketua Umum AMKRI Sunoto menyambut baik adanya kemudahan regulasi yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan kemudahan itu ia optimistis industri kayu dan mebel dalam negeri dapat tumbuh pesat dan mencapai pendapatan sebesar lima miliar dolar AS selama lima tahun.

"Regulasi, birokrasi, dan sistem ketenagakerjaan yang selama ini menjadi penghambat harus ditekan seminimal mungkin," ujar Sunoto.

Industri kayu dan mebel Indonesia di level Asia Tenggara (ASEAN) masih cenderung tertinggal. Vietnam dan Malaysia sudah mencapai keuntungan sekitar 5,2 miliar dolar AS. Sedangkan, Cina masih mendominasi dengan nilai hampir 50 miliar dolar AS.

Dalam industri kayu dan mebel, biaya perizinan bisa mencapai sekitar tujuh persen dari ongkos produksi. Hal ini tentu saja sangat memberatkan pelaku usaha. Sunoto mengatakan, dengan adanya regulasi yang mudah, diharapkan pertumbuhan industri kayu dan mebel dapat melaju dengan pesat, serta biaya produksi menjadi ringan. N ed: irwan kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement