Senin 10 Nov 2014 06:37 WIB

Tragis Sang Kakek

Harri Ash Shiddiqie
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie

Cerpen “Robohnya Surau Kami” ditulis hampir 60 tahun yang lalu, sampai hari ini masih banyak yang menganalisa. 

Ali Akbar Navis melukiskan akhir tragis Kakek “garin”, penjaga surau. Seiring itu ada kebenaran yang diungkap. Kakek bunuh diri karena Ajo Sidi, Si Pembual, yang bercerita tentang Haji Saleh yang rajin sembahyang dan berkali-kali naik haji, dihalau ke neraka. Bualan yang memurungkan Kakek.

Kakek itu berkata pahit, “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah.” 

Bahkan disambungnya, “Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia.”  Di antara kepahitannya Kakek mempertanyakan, “Apa salahnya pekerjaanku itu?."

Bualan Ajo Sidi tentang Haji Saleh itu menghunjam sebagai refleksi kehidupan Kakek selama ini, tatkala dihalau ke neraka Haji Saleh bertanya kepada malaikat,  “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” 

Malaikat yang menggiring ke neraka menjawab, “Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.”

Bukan hanya egois, kakek juga terpukul karena ada juga bualan Ajo Sidi yang mengungkap kemalasan, “Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.” 

***

Cerpen A.A. Navis ini sangat menggugah. Di belahan manapun di dunia ini selalu ada orang-orang yang meletakkan agama ke wilayah isolasi, menjadi kotak di sudut rumah atau kampung yang disebut musholla. Ada orang semacam Haji Soleh  atau Kakek garin yang mengecilkan Islam menjadi hanya sembahyang.  

Muncul juga orang lain, Islam dikerdilkan lalu diletakkan sebagai pigura, steril. Agama itu tempatnya di masjid, bersarung dan berpeci.  Agama tidak ada kaitannya dengan mencangkul, mendaki gunung, menerbitkan koran,  apalagi pengangkatan bupati dan menteri. Agama dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. 

Varian lain adalah orang semacam Ajo Sidi,  senang membual, gemar mengejek orang lain. Tidak perlu takut dosa. Santai saja. Dosa itu urusan nanti, agama dikenakan bila hendak menjadi artis “dadakan”.  Peci, songkok, jilbab adalah aksesori yang ditempelkan ketika nikah, ketika kampanye partai, ketika disumpah menjadi pemimpin, ketika naik pangkat lalu mengadakan tasyakuran. 

Syahadat, Al Quran dan masjid hanyalah onderdil yang bisa diraih kapan saja melengkapi keinginan sang artis untuk pesta hajatan. Ada pengabaian untuk tunduk kaffah terhadap kehendak dan perintah Tuhan.

Tragis, sang kakek yang murung lalu mengambil jalan pintas, juga Ajo Sidi si pembual yang suka mengejek orang-orang sekitarnya sambil tertawa dan gembira.  

***

Bersyukurlah kita yang meneguhi agama sebagai darah kehidupan, menjadikan Islam di setiap awal dan akhir dari tarikan nafas, berdzikir, bersyukur dan bersungkur meletakkan tubuh dan nyawa ini berserah diri kepadaNya. 

Ya Allah, berikan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkan kami dari siksa api neraka. Amin.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement