Jumat 10 Oct 2014 18:44 WIB

Rakus Pemimpin, Rakus Kita

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dokpri
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie 

Beberapa pemimpin telah divonis hukuman penjara karena korupsi. Ada pemimpin  partai, wakil rakyat, sekian menteri, gubernur, dan bupati. Sejak kasus Hambalang, mesin jahit dan daging sapi. Apa saja dilahap, rakus.

Adakah  rakyat yang rakus ?

Lihat rakyat Jerman di jaman Hitler, Polandia dilalap ketika masih terkejut dengan serangan Blitzkrieg. Jerman bangga dengan keberhasilan itu,  “Polandia terkejut, kami menembaknya saat mereka masih terbelalak.” Lihat juga orang-orang Jepang di jaman 1942, tanpa basa-basi Pearl Harbour diserang.  Entah Hitler, entah Kaisar atau Jenderal Yamamoto yang rakus, rakyat Jerman dan Jepang bersorak, merasa gagah dengan keserakahan itu.

                                                                       ***

Rakus bisa meraup harta, kekuasaan atau ketenaran, tapi tidak sedikit merangkul semua itu, rakus apa saja. Bahkan di jaman ini banyak orang yang melihat televisi sejak sore, berita, sinetron, lawak, film sampai sepak bola dini hari. Rakus tontonan?  Kini,  sebuah bola  (hanya sebuah !) yang di bergulir di Brasilia saat piala dunia  menjadi penyihir, seluruh pasang di dunia menatap kepadanya. Celakanya, kita ikut-ikutan juga.

Rakus, serakah, tamak dan semacamnya telah  ada sejak setan menggoda manusia.  Dahulu sepatu hanya tersedia satu atau dua macam. Kapitalis memicu kreativitas untuk mendapatkan  uang. Barang-barang di produk agar dibeli dengan air liur yang meleleh, ada reklame,  ada kredit, ada diskon,  ada sepatu kulit binatang kutub utara, ada es mambo, es lilin,  juga ada es krim yang rasanya pedas. Silahkan dicicipi.

Bukan hanya mobil dan es kirim yang bisa dicicipi. Pernikahan juga dianggap transaksi tukar menukar kepentingan. Bisa saling mencicipi, kumpul kebo adalah proses penjajagan, penyesuaian. Jika cocok selera, jika sesuai persyaratannya, boleh ke jenjang pernikahan. Bahkan  meski ikatan nikah telah disaksikan orang banyak, itu tidak sakral, sekedar genderang dan pupur yang ditabur.  Sekedar kesepakatan. Nikah boleh dengan siapa saja, sesama pria atau sesama wanita.

Bila di jaman Romawi dulu adalah wajar seorang kakak menikahi adik kandungnya,  bukankah di jaman ini pintu sedemikian sudah dekat dibuka lagi ? Rakus ini, macam apalagi?

                                                                      ***

Rakus  menjadi wajar di tengah gempuran barang konsumtif.  Serakah kegembiraan menjadi wajar di jaman informasi, dan tamak permisif,  yang membolehkan apa saja,   menjadi wajar di jaman riuhnya hak azasi. Tak usah malu  dengan keserakahan. Bahkan bila dapat memecahkan rekor kerakusan itu dianggap prestasi, dapat piagam dan masuk museum. 

Serakah manusia digambarkan dalam sebuah hadis, “Seandainya anak keturunan Adam diberi satu lembah penuh dengan emas niscaya dia masih menginginkan yang ke dua. Jika diberi lembah emas  ke dua maka dia menginginkan lembah emas ke tiga. Tidak akan pernah menyumbat rongga anak Adam selain tanah, dan Allah menerima taubat bagi siapa pun yang mau bertaubat.”

Memiliki emas dua lembah memang tidak mendapatkan piala atau piagam, tetapi di majalah bisnis ia muncul di deretan sebagai orang terkaya.  Dan pasti, tak berhenti, bisnis perusahaannya direntangkan untuk mendapatkan emas di lembah berikutnya.

Serakah manusia susah ditentukan batasnya, pilihan sepatu, mobil sampai informasi sudah bertebaran. Pilihan pernikahan  di beberapa negara sudah dijajakan : mau gay atau lesbian? Di Indonesia rakus pernikahan yang melawan agama sudah mulai dilontarkan. Bila itu didapatkan,  sebelum  tanah menyumbat  mulut anak Adam, pasti berikutnya menyusul rakus  yang lain: Rakus apalagi ?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement