Jumat 10 Oct 2014 12:00 WIB
Tajuk

Haji Mabrur dan Agen Perubahan

Red:

Gelombang pertama jamaah haji Indonesia mulai berdatangan pada Kamis (9/10) malam WIB. Kloter 1 Embarkasi Padang, Sumatra Barat, menjadi rombongan jamaah haji perdana yang mendarat kembali di Tanah Air setelah menunaikan seluruh prosesi haji.

Selama hampir 41 hari, jamaah haji asal Indonesia berada di Tanah Suci. Beragam peristiwa mereka alami. Mulai dari pengalaman menjenuhkan selama menunggu proses imigrasi di Bandara Arab Saudi; sarana transportasi yang tak memadai dan jumlahnya kurang; pemondokan yang tak memenuhi syarat; pengalaman spiritual saat menunaikan tawaf, sa'i, maupun prosesi puncak haji di Arafah, Mina, Muzdalifah; hingga persoalan air minum serta tenda yang bermasalah saat berada di Arafah. Belum lagi disorientasi arah alias tersesat jalan selama di area Masjidil Haram maupun di Mina ketika lontar jumrah.

Ada yang menyikapi minimnya sarana trasportasi dengan menumpahkan kekesalan terhadap petugas, pemondokan yang jauh dari Markaziah saat berada di Madinah dengan ngedumel, kekurangan air bersih saat di Arafah dengan marah-marah, dan beragam ekspresi kekecewaan lainnya. Semua masalah ini merupakan ujian kesabaran bagi para jamaah haji.

Kesabaran merupakan bagian dari keimanan seseorang. Apalagi, selama berada di Tanah Suci, seorang jamaah dituntut untuk bersabar, bersikap ikhlas, tidak melakukan syirik, bertengkar dan berbantah-bantahan, menutup aurat, berlaku sopan, mengutamakan orang lain ketimbang diri sendiri, dan berbagai akhlak mulia lainnya.

Namun, keharusan jamaah untuk tidak banyak mengeluh selama prosesi haji ini, bukan kemudian dijadikan pembenar atas kurang maksimalnya layanan perhajian oleh Pemerintah Indonesia. Pemilik hotel di Madinah yang wanprestasi maupun perusahaan bus shalawat selama berada di Makkah yang cedera janji, sebagai contoh, tidak bisa ditoleransi.

Mengapa? Ini karena kesepakatan soal pemondokan dan transportasi dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama, bukan dengan jamaah haji secara perorangan. Karenanya, segala hal yang terkait dengan pelayanan terhadap jamaah menjadi tanggung jawab pemerintah. Jamaah yang telah membayar sesuai proporsinya berhak menuntut jika pelayanan yang mereka terima tak maksimal.

Tentu, kita berharap kesabaran dan keikhlasan jamaah selama di Tanah Suci dengan segala suka dan duka itu berbuah ridha-Nya. Jika Allah SWT ridha atas seluruh prosesi ibadah haji jamaah karena dilakukan dengan baik dan benar serta bekal yang halal, suci, lagi bersih, ganjarannya tak lain adalah haji mabrur. 'Predikat' yang menjadi impian seluruh jamaah haji karena tiada balasannya melainkan surga.

Paling mudah menandai seseorang mendapat predikat haji mabrur adalah dari perilaku yang berubah menjadi lebih baik. Jika seseorang sebelum pergi haji kerap berbohong dan khianat, sifat itu tak lagi melekat pada diri jamaah sepulang berhaji. Seseorang yang sebelum berangkat haji kerap menguntit uang perusahaan atau uang negara alias korupsi, sepulangnya ke Tanah Air melenyapkan sifat jahat tersebut.

Kita berharap, para jamaah haji yang tahun ini saja berjumlah 160-an ribu orang, bisa menjadi anasir perubahan menuju kebaikan. Mereka menjadi agen-agen pengubah mental bangsa yang lacur menjadi pribadi-pribadi yang berkomitmen pada moral dan etika.

Bayangkan jika 160 ribu jamaah ini bisa memengaruhi dua orang di lingkungannya menjadi agen kebaikan, sudah 480 ribu orang yang masuk barisan kebaikan. Dalam hitungan linier pada sepuluh tahun ke depan, bakal ada 4,8 juta orang yang menjadi agen perubahan.

Karenanya, bukan lagi impian jika ini terealisasi, Indonesia menjadi negara hebat tak hanya karena kekuatan ekonomi dan teknologinya, tapi lantaran profesionalitas dan akhlak mulia warga negaranya. Semoga semua jamaah Indonesia diganjar haji mabrur. Amiin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement