Senin 15 Sep 2014 15:30 WIB

Politik NU Menjaga Bangsa

Red:

Oleh: Muhammad Subarkah -- Ahmad Baso lahir di Makassar, 14 November 1971. Menulis berbagai buku tentang NU, seperti Pesantren Studies yang terdiri dari tiga jilid (2005), Islam Pascakolonial (2006), Civil Society versus Masyarakat Madani (1999), Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam (2002), dan Agama NU untuk NKRI (2014).

Pernah nyantri di Pesantren An-Nahdlah Makassar (1985-1990), menjabat sebagai anggota Komnas HAM RI (periode 2007-2012), dan Wakil Ketua PP Lakpesdam NU (2010-1015). Kini, membantu sebagai pengajar di Program Pasca-Sarjana 'Islam Nusantara' STAINU Jakarta dan pada Program Pasca-Sarjana 'Kajian Pesantren' INSTIKA Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Bagaimana Anda melihat situasi politik Indonesia pascapilpres kali ini. Dan juga, bagaimana Anda melihat kebijakan PB NU melihat situasi di mana masyarakat terbelah menjadi dua, yakni pendukung Prabowo-Hatta dan pendukung Jokowi-Jusuf Kalla?

NU itu politiknya kebangsaan. Kalau ada proses di pemilihan presiden, gubernur, wali kota, atau bupati, posisi sudah sangat jelas, yakni netral. Jadi, tinggal memainkan posisi para kadernya yang ada di berbagai kelompok dengan bekal acuan bahwa mereka harus memainkan politik kebangsaan. Di sini mereka harus jaga NKRI, Pancasila, kemaslahatan umat, keberagaman, doktrin ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja), dan lainnya.

Kalau kemudian bicara soal kubu-kubuan dalam politik itu, orang NU kini bisa memainkan peran di mana-mana. Dan, di sisi NU-nya sendiri memang tidak perlu ke mana-mana. Sikap ini jelas dalam rumusan 'khitah' politiknya.

Memang kemarin waktu pilpres, misalnya, memang ada yang bermain di pihak Jokowi dan Prabowo. Dan, gegeran juga terjadi. Namun, setelah usai di NU, situasinya berubah menjadi 'geer-geer'-an saja. Setelah kompetisi berlalu, maka ya bersatu lagi, bertemu lagi seperti sedia kala. Ini bedanya dengan organisasi masa Islam yang lain, di mana kalau sudah beda sikap, ya beda terus-menerus.

Harus diakui, di dalam NU memang sering kali ada konflik dan gontok-gontokan, baik itu antarpesantren atau antarkiai. Tapi, kalau perhelatannya selesai, kita bisa berangkulan kembali. Jadi, dinamika ini bisa segera cair karena ada 'politik' guru-murid, nasab atau silsilah. Jadi, konflik sih konflik, tapi kalau sudah ketemu gurunya, silsilahnya, dan jalur keilmuannya, maka persoalan segera bisa cair kembali.

Bagaimana Anda melihat posisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang banyak dikatakan sudah bisa eksis sebagai media ekspresi politik warga nahdliyin. Mengapa bisa begitu? Apakah tak ada yang bisa menandingi kepiawaian Muhaimin Iskandar?

Ya, itu kepintaran PKB dan Muhaimin di dalam memainkan posisi dirinya bahwa dia adalah anak sah dari NU. Tapi, di NU sendiri posisi soal preferensi politiknya kan sebenarnya terbuka. Kalau ada kader di Golkar yang juga mengklaim seperti PKB, ya silakan saja. Begitu juga di PPP, ya silakan saja. Mungkin semua partai bisa, kecuali saya rasa PKS saja yang memang alirannya berbeda dengan kami.

Kalau nanti soal PKB atau PPP, atau juga partai lainnya, mau memainkan isu NU-nya, ya terserah saja. Posisi NU sebagai jamiah sudah jelas, tak terikat pada kubu politik manapun. Yang pasti pula sampai sekarang tak ada imbauan atau seruan resmi dari PB NU agar memilih partai PKB atau partai politik lainnya. Kalau ada, misalnya, kiai yang mengatakan haram memilih partai selain PKB, ya posisi NU jelas itu sikap pribadinya saja.

Lalu, di manakah titik krusial yang kini dialami NU di dalam membangun posisi politiknya pada waktu terakhir ini?

Ada beberapa titik krusial. Pertama adalah bagaimana mengawal khitah kebangsaan ini. Ini setelah melihat begitu banyak pihak yang menggugat NKRI. Kader NU di partai manapun harus solid dalam soal ini.

Kedua, adalah mengenai bagaimana jamaah ini bisa dewasa dalam berpolitik. Jangan sampai dengan mengaca pada pilpres kemarin menjadi berserakan. Ini penting agar jangan sampai umat ikut berantakan. Warga kan melihat Ketua Umum PB NU ke nomor satu, wakil ketuanya ke nomor dua.

Untunglah ini bisa ditangani dengan baik. Dan, harus dipuji juga kemampuan Rois Am PBNU KH Mustofa Bisri. Di tengah kuatnya tarikan, beliau bisa mengatur dengan baik organisasinya sehingga tidak ke mana-mana. Gus Mus berhasil membuat posisi yang bagus bagi NU sehingga tak membuat kubu-kubuan melebar ke mana-mana. Sebagai Rois Am, beliau dengan tepat memundurkan waktu Munas NU dari bulan Juni atau sebelum pilpres ditunda menjadi November ini.

Nah, seandainya Gus Mus 'bermain' juga, maka beliau bisa menyatakan munas tetap sesuai jadwal. Tapi ternyata tidak, Munas NU dilaksanakan nanti seusai pilpres. Ini kebijakan yang luar biasa. Posisi Syuriah NU tetap netral dan berada dalam jalur mengawal etikanya saja. Dan, ini diputuskan Gus Mus secara sadar setelah melihat betapa banyak atau derasnya tuntutan dari bawah yang meminta agar PBNU memilih sikap politiknya dalam pilpres ke salah satu pasangan itu.

Pada awal dekade 60-an, ada seruan dari pemimpin partai nasionalis yang menyerukan agar waspada kepada kaum sarungan. Pada posisi sekarang ini, seperti apa sih posisi hubungan antara kaum nasionalis dan NU yang merupakan kaum sarungan? Apakah sudah ada perubahan?

Sekarang situasinya sudah berubah. Tak ada lagi stigma yang seperti itu. Ini diawali dengan dekatnya hubungan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Megawati selaku Ketua Umum PDIP. Apalagi, di kalangan NU sendiri bila bicara soal memori sejarahnya, maka mereka selalu merujuk kepada Bung Karno.

Bahkan, ada para kiai, ulama, dan habaib menyatakan Soekarno sebagai waliyullah. Jadi, pendekatan antara kami dan kaum nasionalis sudah terintegrasi sampai ke level bawah. PNI dan NU sudah dengan sendiri bagian sejarah dari warga nahdliyin. Ini dibuktikan dalam buku yang ditulis KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang Pesantren, di mana di situ dinyatakan bahwa Soekarno itu dekat sekali dengan para kiai. Bahkan, KH Wahab Hasbullah dianggap Soekarno sebagai guru politiknya.

Dan, ini pun tak aneh. Sebab, bagaimanapun sehebat-hebatnya orang abangan, mereka pasti butuh doa dari para kiai atau kaum santri. Lihat saja ketika anak mereka lahir, mau menikah, hingga meninggal pun butuh doa atau tahlilan. Bayangkan seorang Taufik Kiemas saja yang latar belakangnya bukan NU ketika meninggal, ditahlilkan selama tujuh hari. Uniknya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin juga datang setiap hari di acara itu. Berbagai tokoh Partai Keadilan Sejahtera juga ikut hadir dalam acara tersebut.

Saya kira tradisi NU akan tetap dicari orang. Mau menjelekkan NU atau tidak, pasti suatu saat orang itu akan butuh.

Yang kini juga terasa adalah soal trauma politik akibat peristiwa G30S PKI dulu. Kini, ada keinginan untuk mencabut TAP MPRS No XXV Tahun 1966. Lalu, bagaimana komentar Anda?

Bagi kami soal itu sudah selesai. Kita tidak ingin lagi mengungkap soal luka sejarah itu. Kita hanya mengangkat soal isu itu sebatas untuk kepentingan rekonsiliasi. Dulu ada kesalahan sejarah, maka jangan sampai diulang kembali. Dan juga, bila ada keretakan sosial akibat peristiwa itu, ya mari kita rajut kembali. Namun, itu bukan dalam bentuk rekonsiliasi nasional, tapi sebuah rekonsiliasi yang datang dari bawah. Dan, cara atau akar penyelesainnya, ya memakai cara kultural, di antaranya, ya melalui tahlilan itu.

Melalui cara rekonsiliasi itu ternyata terbukti efektif untuk mengobati luka sejarah tersebut. Bahkan, kalangan keluarga mereka sangat marah bila kemudian ada pihak yang mencoba mengungkitnya kembali soal tragedi 30 September 1965, misalnya, dengan munculnya tulisan soal ini di sebuah majalah mingguan berita. Bahkan, mereka juga mengecam bila ada pihak dan LSM yang mencoba membuka lagi luka lama atau pihak yang mencoba mengomodifikasikan soal ini sebagai 'barang dagangan ke luar negeri'.

Bagi kami jelas, soal TAP MPR No XXV Tahun 1966 itu bukan persoalan 'akar rumput'. Itu persoalan elite atau orang Jakarta. Persoalan mereka adalah bagaimana hidup tenang dan anak-anaknya bisa sekolah dengan baik. Dalam soal rehabilitasi, mereka juga sudah cukup bila ada orang atau kiai NU mendatangi dan hidup bersama mereka. Jadi, ketika ada kiai masuk dan berinteraksi ke desa mereka itu sudah merupakan hal yang membuat mereka terpuaskan dan mereka mengakui sebagai bukti sudah tak distigma lagi.

Nah, bila kini ribut semua itu kan ulah orang yang ingin memproyekkan soal itu. Saya tahu betul soal ini karena saya pernah menangani ketika menjadi anggota Komnas HAM. Begitu tim soal tragedi 1965 terbentuk, maka langsung saja muncul tarik-menarik kepentingan yang sangat kuat. Ujungnya, ya hanya proyek kepentingan saja, sedangkan realisasi rekonsiliasi yang ada di masyarakat tak dipedulikan. Masyarakat di desa-desa yang selama distigma tetap saja tak terjamah.

Harap diketahui, kini sudah banyak eks anggota PKI jadi ustaz atau kiai. Bahkan, sekarang hal ini sekarang sudah menjadi hal lumrah saja. Maka, di situ saya yakin rekonsiliasi di bawah sudah lama terjalin dan berlangsung meski tanpa ada koar-koar berupa gerakan atau proyek semacam itu. Di Blitar, misalnya, rekonsiliasi itu sudah berjalan dengan baik sekali.

Sebetulnya apa sih keinginan pihak NU terhadap pilihan sikap politik praktis dari para warganya?

Pertama, warga NU harus tetap menjaga khitah bangsa ini. Kedua, menjaga khitah ke-NU-an, yakni menjalankan politik kemaslahatan terhadap masyarakat luas. Sedangkan dalam soal furuiyah atau cabang-cabang implemenasinya, itu terserah mereka. Mereka cuma diminta paham akan rambu-rambunya. Dan, saya yakin kader NU yang kini menjadi politisi di berbagai partai politik sudah paham sampai sejauh mana batas 'permainan' mereka.

Jadi, meski ada di PPP, Golkar, PKB, atau partai lainnya, bila sudah memasuki usuliyah (wilayah kebangsaan), maka mereka pasti bersatu. Begitu juga para kiainya, meski mereka berbeda pesantren atau aspirasi politik, bila merasa ada soal usuliyah yang genting pasti mereka akan segera bertemu dan segera pula mengambil sikap bersama. Itulah tradisi NU selama ini.

Bagi NU, ada tiga hal yang paling mendasar terkait dalam perwujudan sikap politik para warganya. Pertama, adalah politik yang harus membawa kesejahteraan masyarakat. Kita tahu situasi sekarang bagaimana kekuatan ekonomi menggerogoti asing. Nah, di situ para politisi nahdliyin harus memberikan solusinya. Bagaimana tanah warga digusur begitu saja—termasuk tanah pesantren—gara-gara masuknya investasi sebuah perusahaan.

Kedua adalah soal eksistensi pesantren yang harus dijaga. Kalau, misalnya, harus diganti dengan sekolah umum memang boleh saja, tapi pesantrennya sendiri harus tetap ada. Ketiga adalah soal pemberantasan korupsi. Memang ada diskusi yang menyatakan korupsi di pemilu kepala daerah dan pemilu legislatif bisa 'sedikit' dimaklumi dengan mengajukan berbagai syarat serta argumentasi bahwa tindakan itu dilakukan demi kebangsaan atau bukan untuk kepentingan  pribadi. Ini bisa saja, tapi harus ada aturan yang jelas seperti mengacu pada aturan KPK dan bukan untuk menumpuk kekayaan pribadi.

Keempat soal peningkatan kualitas pendidikan. Dalam hal ini, NU memang sangat memperhatikannya. Bagaimana juga soal pendidikan karakater generasi muda. Bagaimana cara mendidik anak-anak kita agar peduli pada pilar-pilar negara, sepertu nasionalisme, NKRI, dasar negara, dan lainnya. Soal seperti ini bagaimana pelembagaannya dalam kurikulum pendidikan nasional. Terus, bagaimana mengatasi soal separatisme, terorisme, hingga radikalilsme, baik yang datang dari paham agama maupun sekuler. Nah, politisi NU yang tersebar di berbagai partai politik harus punya sikap atas soal ini.

Bagaimana Anda melihat sikap NU di dalam menyikapi perkembangan terakhir dari jalannya demokrasi kita?

Yang penting bagi NU sekarang adalah bagaimana menjaga agar warganya tidak gontok-gontokan akibat persaingan dalam kompetisi demokrasi. Ini penting agar di bawah tidak terjadi konflik antarkampung, hingga antarpengurus NU. Di sini jelas ada sikap yang ditinggalkan KH Sahal Mahfudz bahwa boleh saja tanfidziyah NU bermain politik, tapi lembaga syuriahnya harus tetap dijaga kenetralannya. Bahkan, kalau perlu orang-orang syuriah mengawasi anggota tanfidz yang masuk dalam politik.

Memang ketika dilaksanakan, mendapat tantangan berat. Di beberapa daerah dalam kasus pemilukada, misalnya, terjadi konflik antara syuriah dan tanfidziyah. Mungkin ini karena pihak syuriahnya terlalu ketat mendikte. Nah, ini efeknya. Namun, hasilnya efektif untuk meredam perpecahan warga dan mereka tidak menjadi korban dari polarisasi para elitenya. Dan, kasus ini pun sudah memakan korban jiwa, misalnya, pada kasus kekerasan akibat pemilukada di Tuban beberapa waktu lalu. Dua kubu dari masa yang berbasis NU saling berantem secara fisik.

Bagaimana sikap NU terhadap pemilukada langsung?

Harap diketahui sudah lama PB NU mengusulkan agar pemilukada langsung ditinjau ulang. Kami jelas bertanya apakah demokrasi harus seperti ini, yakni membuat masyarakat hanya menjadi korban politisasi. Untuk itu, kami berpikir agar pemilukada jangan sampai malah membuat konflik masyarakat, sementara elitenya tak pernah dan peduli akan etika-moral dalam berpolitik.

Maka, bila NU sekarang sepakat pemilukada dikembalikan ke DPRD atau tidak langsung lagi, ini karena melihat serta menimbang mudharat dan manfaat adanya pemilihan dengan cara seperti itu. Bahkan, terutama di luar Jawa, banyak organisasi NU hancur atau mandek akibat pemilukada langsung. Soal inilah yang nanti akan dibahas dalam Munas NU di Depok pada awal November depan tersebut. Dan, ingat pada soal ini ada putusan yang jelas melaui Munas NU sebelumnya di Cirebon yang menyatakan bila pemilukada langsung lebih banyak mudharatnya, ya kembalikan saja ke pemilihan di DPRD.

Di PKB sekarang muncul generasi politisi baru yang berusia muda. Bagaimana Anda melihat ini?

Tahapan regenerasi dalam kader politik NU itu kan berjalan secara bergelombang naik dan turun. Ini tergantung dari posisi loyalitasnya pada keluarga-keluarga  yang menjadi darah birunya politik NU. Cak Imin (Muhaimin Iskandar) itu bisa memainkan darah biru dari Jombang. Sampai dalam kasus dia dengan Gus Dur, bagaimanapun dia 'mengkhianatinya', namun satu saat dia akan menggunakan namanya. Ini pun kini sudah terjadi di luar Jawa. Kampaye PKB seperti di Papua, Manado, Nusa Tenggara Timur (NTT), isu yang dibawanya kan isu Gus Dur. Hasilnya di NTT bisa dapat kursi.

Di luar Jawa, juga isunya adalah keluarga-keluarga 'kiai yang kuat' seperti di Kalimantan Selatan (keluarga Idham Khalid) darah birunya kan mereka pegang. Begitu juga di NTB dan Sumatra. Jadi, Cak Imin itu berhasil memainkan relasi lama ketika NU yang dahulu kuat ketika NU menjadi partai. Itulah yang membesarkan. Dan, di sini kemampuan manajerial yang berhasil Cak Imin mainkan, bukan kemampuan dirinya menjadi kekuatan karismatik. Bahkan, kalau perlu dia meminjam karisma orang lain, seperti Gus Dur, Rhoma Irama, Mahfud MD, dan lainnya. Ini yang luar biasa.

Setelah melihat besarnya pengaruh NU dalam 'permainan politik' kebangsaan dan tetap meluasnya dukungan dari warganya, bagaimana Anda melihat potensi para kader muda nahdliyin untuk meraih posisi presiden dalam periode kepemimpinan mendatang?

Kalau saya lihat melalui diskusi di kalangan para kiai, memang ada kader untuk membawa kader menjadi presiden. Tapi, itu bukan target utama. Sebab, di kalangan kiai itu sebenarnya kan ada ukuran dari target-target tersebut. Target maksimalnya adalah menjaga eksistensi pesantren tetap ada. Kemudian tegasnya NKRI, Pancasia, Nahldatul Ulama, dan selanjutnya. Dan dalam soal ini, bila ukuran target itu paling tinggi ada di posisi 10, maka target menjadi presiden itu hanya berada di posisi kelima saja.

Dalam soal Cak Imin, misalnya. Bila dia nantinya ingin maju menjadi presiden, dia pun akan kesulitan. Dia susah menjadikan keinginannya itu kemudian mewujud dan naik ke posisi 10 dari posisi awal target kiai dalam soal pencalonan presiden yang hanya dalam posisi kelima itu. Bahkan untuk naik posisi keenam saja, Cak Imin akan kesulitan.

Lalu, apa masalahnya? Saya melihat utamanya karena dia tak bisa rukun dengan dinasti Jombangnya itu sendiri. Bahkan, Gus Dur dulu juga mengalami tantangan yang tak mudah, terutama bagaimana dia menyolidkan dukungan dari para keluarga darah biru politik NU. Dengan demikian, bila ada kader NU yang ingin maju menjadi presiden, agar mendapat dukungan dari warga NU, maka dia harus menyolidkan dukungan 'tradisional' dari keluarga itu. Tanpa bisa memenuhi syarat ini, dia tidak akan bisa meraihnya. Pengalaman semasa Gus Dur telah membuktikannya.

Nah, dalam soal ini, maka tantangan kader dalam nahdliyin untuk menjadi lebih keras karena harus bisa menyakinkan 'jaringan klasik' itu. Ini beda bila calon presiden itu nantinya berasal dari luar, maka tantangannya akan lebih mudah. Ini berkaca kasus pada sosok Jokowi yang semenjak awal, mulai dari wali kota, gubernur, hingga presiden mendapat banyak dukungan dari kalangan nahdliyin dan NU.

Mengapa bisa begitu?

Ini karena kiai akan selalu punya pertimbangan dengan melihat mudharat dan manfaatnya. Apalagi bila kader NU langsung itu kemudian menjadi presiden, tapi kemudian bermasalah, maka secara kelembagaan membuat posisi NU menjadi tercoreng habis. Ini beda bila nanti presiden datang dari luar, maka bila dia terkena masalah—korupsi misalnya—maka posisi NU sebagai kelembagaan tidak terlalu bermasalah. Jadi, itulah maksud timbangan mudharat dan manfaatnya dari para kiai dalam soal pencalonan kader NU menjadi presiden. Jadi, dalam soal ini NU bisa bersikap akomodatif.

Kalau begitu, seperti apa politik NU ke depan?

Prinsipnya sudah jelas, yakni kader NU ada di mana-mana, tapi secara kelembagaan tidak ke mana-mana. Hanya menjadi penjaga bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement