Senin 15 Sep 2014 13:30 WIB

Jakarta tak Butuh Tol Baru

Red:

Hasrat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun enam ruas jalan tol baru sepertinya sudah tidak bisa terbendung. Padahal, jika mau membuka mata, banyak pekerjaan rumah di bidang transportasi dan infrastruktur jalan yang belum terselesaikan.

Pendapat itu didapatkan Republika dari Peneliti Rujak Center Urban Studies, Andesha Hermintomo. Bagi Andesha, alangkah bijaknya jika Pemprov DKI lebih dahulu memperbaiki transportasi umum yang sekarang beroperasi di Ibu Kota. Apalagi, menurutnya, enam ruas jalan tol baru itu bukan solusi kemacetan Jakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/Yasin Habibi

Andesha mengaku tidak setuju dengan rencana tersebut. Meskipun Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama mengklaim, proyek yang ditargetkan selesai sebelum penyelenggaraan Asian Games pada 2018 itu bakal mengurai kemacetan Ibu Kota.

Nantinya di atas jalan tol tersebut, Pemprov akan membangun jalur khusus untuk bus ulang-alik. Namun, Andesha punya pandangan bersebrangan dengan Basuki. Menurutnya, kehadiran ruas jalan tol baru dan Bus Ulang-Alik bakal merugikan transportasi massal.

Selain itu, pembangunan enam ruas jalan tol bakal meningkatkan populasi pengguna kendaraan pribadi. Imbasnya transportasi umum bakal mati.

Pemprov DKI dilaporkan menunjuk PT Jakarta Tolroad Development (JTD) sebagai pelaksana proyek. Direktur utama (Dirut) PT (JTD) Frans Sunito menjelaskan, bus ulang alik hanya beroperasi di atas jalan tol. Bus itu akan berangkat dan kembali dari ujung satu tol ke ujung tol lainnya.

Di sepanjang perjalanan bus ulang-alik, kata Frans, PT JTD akan membuat beberapa titik pemberhentian sebagai tempat naik turunnya penumpang. Halte pembentian tersebut akan didesain berdekatan dengan lokasi transportasi lainnya.

"Misalnya, kereta api, Transjakarta, dan sebagainya," ujarnya, saat berbincang dengan Republika, Ahad (7/9).

Sedangkan, jarak antarhalte tidak akan berdekatan dengan halte bus dalam kota lainnya. "Akan diatur sedemikian rupa lebih dekat dengan moda transportasi lainnya. Jarak antara halte gak tentu. Karena, tergantung dari titik-titik transitnya, rata-rata tiga sampai empat km," kata dia menerangkan.

Guna menghindari kemacetan, setiap halte pemberhentian bus ulang-alik akan dibarengi pembangunan lajur khusus untuk berhenti atau busbay. JTD merancang busbay yang cukup panjang, sehingga bus sebelum berhenti sudah pindah jalur untuk kemudian menurunkan dan menaikkan penumpang.

Enam ruas jalan tol yang akan dibangun di Jakarta, yakni ruas Semanan-Sunter sepanjang 20,23 kilometer dengan nilai investasi Rp 9,76 triliun, Sunter-Pulogebang sepanjang 9,44 kilometer dengan investasi senilai Rp 7,37 triliun.

Duri Pulo-Kampung Melayu sepanjang 12,65 kilometer dengan investasi senilai Rp 5,96 triliun. Kemudian, Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,60 kilometer dengan nilai investasi Rp 6,95 triliun.

"Ulujami-Tanah Abang dengan panjang 8,70 kilometer dengan nilai investasi Rp 4,25 triliun dan Pasar Minggu-Kasablanka sepanjang 9,15 kilometer dengan nilai investasi Rp 5,71 triliun," ucap dia.

Sayangnya Andesha menilai Pemprov DKI belum melakukan sosialisasi terkait desain operasi bus ulang-alik. "Misalnya, halte mana saja yang ada. Apakah jumlahnya memadai, jangan-jangan jarak antarhaltenya terlalu jauh," katanya.

Selain itu, Pemprov DKI juga perlu memikirkan sarana bagi difabel. "Gimana dengan sarana untuk penyandang cacat atau orang yang memiliki aksesibilitas terbatas? Gimana caranya dia mencapai ketinggian jalan layang yang mungkin tinginya mencapai 20-30-an meter?" ujar dia.

Guna memudahkan penumpang, pemprov berencana membangun eskalator untuk naik ke atas jalan tol dan tangga manual untuk penumpang turun di masing-masing halte. "Kalau eskalator, ada biaya listrik dan perawatan, bagaimana  perhitungannya. Nah hal-hal kayak gini yang sama sekali belum disosialisasikan," kata dia.

Rencana pembangunan itu pun ditanggapi berbeda-beda oleh masyarakat. Sandi (22 tahun), warga Kuningan, Setia Budi, Jakarta Selatan, itu berpendapat, pembangunan jalan tol itu tidak akan mampu mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Bahkan, hanya menambah beban anggaran. "Penambahan ruas jalan gak ada guna, habis-habisin duit doang," ujarnya, Jumat (12/9).

Pendapat serupa dilontarkan Miang (60), warga Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menurutnya, kemacetan lahir karena membludaknya jumlah kendaraan pribadi. Karenanya, Hambali (34), warga Pondok Aren, Jaksel, meminta Pemprov DKI fokus membenahi angkutan umum yang banyak mengalami kerusakan.

"Perlu dibangun (jalan), tapi kalau dana besar gak setuju. Mendingan buat pemeliharaan (kendaraan umum) yang rusak aja," ucap dia ketus.  rep:c89 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement