Ahad 14 Sep 2014 15:51 WIB

Bertahan di Bawah Ketidakpastian

Red: operator

Realisasi perundang-undangan berkaitan erat dengan kekuasaan.

Polemik revisi Un dang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kem bali mencuat ke permukaan. Hal ini mengingatkan publik kembali tentang sejarah dan dinamika kemunculan UU ini.

Bahkan, upaya keras dilakukan umat Islam sepanjang sejarah di Tanah Air untuk memiliki hukum formal pernikahan berbasis syariat.

Nawawi Muhammad dalam "Hukum Perkawinan di Indonesia", geliat itu tampak sejak kerajaan Islam berdiri di bumi pertiwi. Para sultan yang menjadi penguasa Nusantara memberlakukan hukum Islam di wilayah kekuasaannya, termasuk soal pernikahan dengan menunjuk para penghulu. Sebagian besar berdasarkan Mazhab Syafi'i.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Tahta Aidilla

Ketika Belanda masuk ke bumi Nusantara pada 1596 melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kedudukan hukum Islam diakui.

Tak hanya mengakui, VOC bahkan memberikan kemudahan agar hukum Islam terus berkembang. VOC juga menerbitkan buku-buku hukum Islam agar bisa menjadi pegangan para hakim peradilan agama dalam memutuskan perkara-perkara.

Seperti kitab-kitab al-Muharrar di Semarang, Shirath al-Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniry di Kota Raja Aceh. Kitab karangan Syekh Arsyad al-Banjary yang berjudul Sabilul al- Muhtadin untuk para hakim di Kerajaan Kadi, Banjarmasin.

Serta kitab Sajirat al-Hukmu untuk Mahkamah Syar'iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik, dan Mataram.

Selama hampir dua abad, hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat Muslim terus berjalan.

Melalui dekrit Kerajaan Belanda, pada 1835, pemerintah kolonial secara formal mengakui kekuasaan penghulu untuk memutuskan segala permasalahan perkawinan. Serta, warisan dalam masyarakat Jawa dan semua hal yang berkaitan.

Ini diperkuat oleh teori LWC Van Den Berg bahwa masyarakat Indonesia menjadikan Islam sebagai hukum mereka. Teori ini dikenal dengan Recepcio in Complexu. Sejak 1855, teori itu didukung peraturan perundang- undangan Hindia Belanda melalui Pasal 75, 78, dan 109 RR 1854.

Namun, Cristian Snouck Hurgronje saat itu berpendapat lain, hukum yang berkembang di masyarakat Indonesia bukan hukum Islam. Tapi, lebih tepat disebut hukum adat. Pendapat Hurgronje itu dikenal dengan teori Receptie.

Teori tersebut jelas membuat Pemerintah Belanda tak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku di masyarakat, yang memicu munculnya Indesche Staatsregeling (IS) Pasal 131 Ayat 6 bahwa hukum adat akan tetap digunakan dan bukan hukum Islam.

Lahirnya peraturan dari Pemerintah Belanda jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Bagaimana dengan seorang Muslim atau Muslimah yang tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Muncul kekhawatiran mungkin pernikahan yang dilakukan bisa saja bertentangan dengan hukum Islam.

Ini terbukti dengan IS Pasal 131 Ayat 2 bahwa bangsa Indonesia bisa mengacu ke Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. UU yang ada saat itu memang tidak protektif terhadap umat Islam. Salah satunya membuka peluang pernikahan beda agama untuk Muslim atau Muslimah.

Pada 22-25 Desember 1928, Kongres Perempuan I di Yogyakarta menginginkan Pemerintah Belanda agar segera menyusun undang-undang perkawinan. Mengutip Nani Suwondo dalam bukunya Kedudukan Wanita, pada 1937, Pemerintah Hindia Belanda menyusun ren cana ordonansi per kawinan dengan pokok-pokok, perka winan ber dasarkan asas monogami, dan perka winan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun. Serta, per ceraian sah adalah yang diputuskan oleh hakim. Namun, ordonansi tersebut di tolak karena dianggap mengandung hal-hal yang berten tangan dengan hukum Islam.

Hingga berakhirnya masa penjajah an, tak ada undang-undang yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda tentang materi perkawinan seluruh bangsa Indonesia. Hukum perkawinan yang berlaku hanya Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) untuk orang-orang Indonesia beragama Kristen. Ada pula peninggalan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) untuk keturunan Eropa dan Cina.

Ketidakpastian Hukum

Mahsun Fuad dalam "Hukum Islam Indonesia"menerangkan, bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa prakemerdekaan, khususnya akhir masa penjajahan, berada dalam posisi yang tidak pasti. Hal tersebut dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme dan karena wilayah yang tidak satu pun sistem hukum mampu mengakomodasi pluralitas hukum.

Sejujurnya, sistem hukum saat itu merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan Islam. Penyusunannya sendiri belum terkonstruksi dengan baik. Itulah yang membuat hukum Islam gagap berhadapan dengan sistem hukum Belanda dan sistem hukum adat. Saat itu juga, nuansa politik yang masih dalam proses eklektisisme dengan hukum Belanda begitu kental.

Ketika Orde Lama berkuasa, muncul keinginan untuk memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia. Sayangnya, pada masa itu, peraturan peninggalan pemerintah kolonial Belanda tetap berlaku menurut golongannya masing-masing.

Pertama, bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum adat. Kedua, bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam. Ketiga, bagi orang- orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI). Keempat, bagi warga keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Dan, yang terakhir, bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan campuran (Staatsblad 1898 Nomor 158) atau GHR.

Kodifikasi hukum perkawinan Islam yang tidak seragam memunculkan banyak kejadian kurang menyenangkan.Salah satunya perkawinan anak-anak, kawin paksa, serta penyalahgunaan hak talak dan poligami.

Keadaan tersebut membuat Pemerintah Indonesia prihatin. Akhirnya, menetapkan UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Undang-undang tersebut berlaku untuk daerah Jawa, Madura, dan Sumatra.

Undang-undang ini juga didukung Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1947 yang ditujukan untuk pegawai pencatat nikah (PPN).

Dalam instruksi tersebut, PPN bertugas mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur. Menjelaskan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami. Bahkan, PPN juga bertugas mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Akhirnya, pada 1954, melalui UU 32 Tahun 1954, UU Nomor 22 Tahun 1946, berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

rep:c70, ed: nashih nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement