Selasa 09 Sep 2014 16:00 WIB
inspirasi

Widya Puteri, Mukena Bersih untuk Sesama Muslimah

Red:

Pada 2006, Widya Puteri meninggalkan Martapura, Kalimantan Selatan, dan pindah ke Jakarta. Betapa terkejutnya ia saat menemui kenyataan getir di kota metropolis itu. Ia menjumpai mukena yang tersedia di salah satu masjid di kawasan Jakarta Pusat dalam keadaan kotor dan kumal. "Waktu itu rasanya sedih bercampur marah," kata Widya, ditemui Republika di kediamannya di kawasan BSD, Tangerang Selatan.

Widya lantas mengadu pada sang suami. Dia ingin dana zakat berikutnya digunakan untuk membeli mukena baru dan disumbangkan ke masjid tersebut. Setelah rencananya terealisasi, dua pekan kemudian ia kembali shalat di masjid tersebut. Widya terhenyak mendapati mukena baru sumbangannya telah kotor, tak ada yang mencucinya. Ia lantas memikirkan cara agar mukena bersih selalu tersedia di masjid. "Harus ada gerakan menciptakan kondisi mukena terawat dan bersih di tempat keramaian," ujar Widya mengungkapkan gagasannya.

Kala itu, Widya masih kesulitan mewujudkan idenya. Ia belum terlalu mengenal seluk-beluk Jakarta. Teman tak ada, begitu pula penghasilan. Dua tahun kemudian, ibu dua orang anak ini bergabung dalam satu perusahaan kosmetik yang menjual produknya secara multi level marketing (MLM). Setelah itu, ia mulai memiliki banyak kawan dan makin sering menyambangi mal. "Tahun 2008, saya mulai menggulirkan mukena movement."

Seorang diri, Widya mencontohkan cara terbaik untuk menjaga agar Muslimah dapat shalat dengan mukena bersih di mushala pusat perbelanjaan. Ia mendonasikan mukena bersih dan merawat mukena mal. "Di mal-mal, kebanyakan kondisi mukenanya memprihatinkan."

Bermodal akun Facebook, Widya menyebarkan gerakan tersebut. Ia juga membuat blog untuk meluaskan gerakannya. Waktu bergulir dan antusiasme masyarakat, terutama Muslimah, semakin besar. "Sampai akhirnya saya memerlukan bantuan teman-teman untuk mengurus," kata perempuan kelahiran Martapura, 4 September 1985, ini.

Dibantu dua orang rekan, yakni Dea Haryono dan Peggy Prasmaya Carolina, terbentuklah Mukena Kita. Organisasi ini berdiri sejak 2011. Widya, Dea, dan Peggy memiliki peran masing-masing, mulai dari merangkul donatur hingga pendataan dana dan relawan. Berinteraksi melalui laman www.mukenakita.org, banyak relawan yang tertarik bergabung. Mereka hanya perlu mengisi formulir yang telah disediakan sebagai persyaratan untuk bergabung dengan Mukena Kita.

Para relawan bertugas menyurvei lokasi mal yang memang membutuhkan mukena bersih. Di tiap tempat akan diberikan bantuan sebanyak 10 buah mukena. Setiap minggunya lima mukena akan dicuci dan sisanya masih dapat dipakai. Begitu seterusnya. Relawan akan menjaga dan merawat mukena hasil sumbangan para donatur tersebut. Mereka mengambil mukena kotor di mushala mal, mencuci, dan mengantarkannya kembali. Tugas mulia itu dilakukan tanpa bayaran. "Area tugas saya di beberapa mal di wilayah Tangerang Selatan," ucap Widya.

Saat ini, lebih dari 70 tempat umum telah mendapatkan pasokan mukena bersih. Relawan yang bersedia merawat dan menjaga di tiap titik sudah lebih dari 1.000 orang. Angka tersebut sekilas terlihat banyak. Faktanya, Mukena Kita masih kekurangan relawan. Masih banyak tempat lain yang membutuhkan bantuan mukena bersih. "Terkadang, tempat shalat tersebut tidak hanya membutuhkan mukena, tetapi juga sajadah dan lemari penyimpanan."

Kebutuhan tersebut Widya anggap sebagai pekerjaan besar untuk Mukena Kita ke depannya. Mukena Kita ingin menjangkau daerah lain di luar Jabodetabek. Sejauh ini sudah ada relawan di Bandung dan Surabaya. "Insya Allah gerakan relawan penyedia mukena bersih ini bisa merata ke seluruh Indonesia."

Bisnis dari Rumah

Meski kerap sibuk membantu pengadaan mukena bersih, Widya tetap menomorsatukan keluarganya.

Perempuan yang hobi membaca dan menulis ini ingin menjadikan rumah sebagai surga dunianya.

Tekad itu pula yang menguatkan hati Widya untuk berhenti bekerja kantoran setelah menikah. Ia memilih bekerja dari rumah dengan melakoni bisnis MLM. "Alhamdulillah, bisnis tersebut hasilnya bagus."

Ketika memiliki cukup modal, Widya memberanikan diri membuka usaha kue. Usaha kue rumahan miliknya berdiri saat ia tengah hamil anak pertamanya pada 2007. Dia mengidam brownies dan memilih untuk membuatnya sendiri. Padahal, istri dari Arisandy ini tidak bisa memasak. Bermodal buku resep, brownies perdananya sukses. Salah satu teman yang mencicipi buatannya tertarik dan bersedia menjadi mitra berjualan brownies. Bisnis kecil-kecilan tersebut tanpa diduga berkembang pesat. Berawal dari membuat brownies, ia lalu beralih menyediakan cup cake, cake, dan kue kering yang sedang populer di masyarakat. "Saya membekali diri dengan ikut kursus dekorasi kue," tutur ibu dari Aditya Rahman dan Adelia Shafira ini.

Melihat usahanya semakin menjanjikan, Widya membuka toko di salah satu mal di Tangerang Selatan. Ia tidak memiliki ilmu pemasaran. Bisnisnya pun berantakan karenanya. "Saya terus merugi selama enam bulan sampai uang usaha habis tak bersisa," kenangnya.

Widya sempat jatuh mental. Namun, ia tak ingin berlama-lama larut dalam kesedihan. Ia membangun optimisme demi membangkitkan bisnis kuenya. "Saya sekolah di bidang pastry tahun lalu," kata perempuan yang masih berstatus mahasiswi di Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Trisakti jurusan Food Production/Pastry ini.

Awal 2013, Widya harus menyiapkan tugas akhir. Ia menghidupkan kembali bisnis kuenya demi menyelesaikan kuliah. Tak disangka, bisnis jar cake yang ditekuninya membuahkan hasil. Hanya dalam waktu setengah tahun, jar cake miliknya sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Ia berpromosi melalui Facebook, Twitter, dan Instagram. Gigih mengkreasikan produk dan ulet memasarkannya, saat ini sudah lebih dari 45 ribu member mendukung fan page Adidel Cakes. Ribuan followers mengikuti akun Instagram @adidelcakes. "Saya telah mendaftarkan usaha ini ke Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (Haki) dan sudah memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk semua produk."

Usaha kue Adidel Cakes sudah memiliki reseller di seluruh Indonesia. Widya lalu berinovasi dengan menyediakan pie di dalam stoples sebagai variasi produk. Pencuci mulut yang namanya sedang melambung ini bahkan pernah terhidang di meja makan keluarga Cikeas. Masih menggunakan rumah pribadi sebagai tempat produksi, omzet kue Widya mencapai Rp 120 juta hingga Rp 150 juta per bulan. "Hasil usaha ini juga saya salurkan sebagai sumbangan untuk kelancaran Mukena Kita," kata Widya.

Sebagai perempuan dengan seabrek kegiatan, Widya memilih tetap merawat anak tanpa bantuan baby sitter. Ia piawai membagi waktu dan perhatiannya. Pagi hari sehabis shalat Subuh, ia menikmati kebersamaan dengan keluarganya. Pada pagi hari, kondisi anggota keluarga masih bugar dan fit. Anak-anak juga belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah usai Subuh dengan didampingi sang ayah dan bunda. rep:nora azizah  ed: reiny dwinanda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement