Selasa 02 Sep 2014 16:30 WIB

Pilih Indehoi atau Amuk

Red:

Oleh:Muhammad Subarkah(Wartawan Republika) -- Beberapa tahun silam, pada sebuah sore sekelompok seniman kondang kongko di bawah kerindang pepohonan Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Perbincangan berlangsung hangat ditemani makanan ringan serta minuman jahe bikinan koki sebuah warung yang mereka namai 'warung lidah buaya'. Seorang pelayan asal Brebes yang juga diberi nama baru sebagai Alek sibuk bolak-balik melayani. Di situ duduk nama-nama seniman legendaris, seperti alharhum Motinggo Busye, Sutarji Calzoum Bahri, Ikranegara, almarhum Amang Rahman, dan lainnya.

Seperti biasa, Busye menguasi pembicaraan. Selain idenya segar dan selalu mengundang gelak tawa, gaya bercerita mendiang seniman multitalenta itu sangat runtut dan menarik. Apa yang dikatakannya persis cerita yang ada di novelnya yang terhimpun di banyak sekali media. Sembari menyimak cerita Busye, Ikra pun menceritakan kekagumannya karena pernah melihat berbagai buku karya dia mendominasi rak buku di sebuah toko bacaan di Singapura.

''Pokoknya hebatlah dia. Saya pernah lihat sendiri toko buku di Singapura itu. Satu rak penuh!'' tukas Ikranegara menyela perbincangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:M Lutfi Rahmah/ANTARA

 

Mendengar cletukan itu, Busye hanya senyum-senyum saja. Saat itu, dia bercerita mengenai korban perang di Aceh dan kasus pencucian uang untuk kebutuhan politik. Dan benar saja, beberapa tahun ke depan dua cerita itu kemudian muncul di media massa ibu kota dalam bentuk cerita pendek. Hebatnya lagi, dua cerpen Busye tersebut dalam selang waktu yang tak terlalu lama mendapat penghargaan sebagai karya cerpen terbaik. 

''Iyalah Busye itu hebat. Bayangkan fakta dan fiksi dibuatnya menjadi sama saja,'' kata Sutardji sembari tertawa meledek. Busye kali ini dengan cepat menimpali: ''Betul Tardji. Iu pun sudah saya buktikan ketika saya menulis ramalam bintang di sebuah majalah wanita. Saya lakukan bertahun-tahun dengan nama samaran. Eh, ternyata banyak yang percaya. Fiksi dan nyata itu ternyata bisa sama saja,'' ujarnya.

                                                                  ******

Perbincangan pun makin seru ketika Busye mulai 'menarik' klaim atas jasanya dalam bahasa Indonesia. Sutardji yang juga punya banyak jasa dalam 'meninggikan' ekspres bahasa Indonesia kembali hanya ketawa-ketawa sembari terus meledeknya. ''Klaim terus. Klaim terus, klaim terus...!'' ledek Sutardji. Ikranegara pun hanya geleng-geleng kepala. Sedangkan, Amang Rahman hanya senyum-senyum saja melihat kejenakaan Busye.

Tapi, Busye tak peduli situasi itu. Rentetan omongan terus meluncur keluar dari mulutnya. ''Kalian harus tahu. Salah satu orang Indonesia yang resmi memberikan kontribusi konkret pada bahasa Indonesia adalah saya ini. Silakan buka kamus bahasa Indonesia. Kalau ketemu kata 'indehoi', maka itulah hasil sumbangan saya. 'Indehooi' itu kata dari bahasa Belanda, yang artinya di dalam jerami.''

''Nah, oleh saya kata 'indehooi' itu diserap menjadi kata dalam bahasa Indonesia yang artinya sedang asyik masuk bercinta atau pacaran. Serapan kata 'indehooi' itu pertama kali muncul dan akrab berkat novel saya di tahun 1970-an. Jadi, kalau dulu Raffles memasukkan kata amuk ke dalam bahasa Inggris, saya memasukkan kata indehooi ke dalam bahasa Indonesia,'' ujar Busye bangga. Semua yang hadir di situ tak ada yang membantah. Mereka hanya mengacungkan jempol kepada Busye. ''Pokoknya Busye top. HB Jassin tak salah bila menyebut Busye jenius,'' kata Ikranegara menimpali.

Setelah itu suasana kembali mencair. Busye terus bercerita. Saat itu dia kemudian menceritaan mengenai fenomena munculnya 'agama baru' versi Lia Aminuddin. Busye memutar-mutar cerita soal orang mengklaim mendapat wahyu dengan jenaka. Katanya, biasanya klaim seperti itu muncul dari orang yang sakit panas. Mendengar celotehan Busye, mereka yang hadir tertawa ngakak. ''Saya dan Tardji (Sutardji C Bachri) itu salah satu penyumbang bagi kemodernan bahasa Indonesia. Tapi, cuma saya yang setaraf Raffles,'' kata Busye terus bercanda.

Tak hanya Busye atau Sutardji yang sumbangannya bagi bahasa Indonesia tak banyak diketahui. Mantan gubernur Hindia Belanda asal Inggris periode 1811-1816, Thomas Stamford Bingley Raffles (Raffles), ternyata juga memberikan banyak jasa. Gubernur jenderal yang menulis buku klasik History of Java dan memelopori renovasi Candi Borobudur ini meninggalkan sumbangan berupa memasukkan kosakata bahasa Melayu amuk ke dalam bahasa Inggris. Jadi, bila ada yang membuka kamus bahasa Inggris lalu menemukan kata 'amok/amock/amuck', maka sadarilah serapan kata yang berasal dari tanah nusantara.

Konon, ketika Raffles tengah berkunjung ke sebuah wilayah di pantai timur Sumtra, tiba-tiba dia mendapat situasi yang tidak keruan. Entah mengapa ada orang bertindak ngawur, mengajak berkelahi secara membabi buta dengan membawa senjata tajam. Dia melihat lelaki itu bertindak sangat agresif dan tidak terkendali.

Melihat itu, Raffles bertanya: ''Apakah orang itu gila atau tidak waras?'' Dan ketika dia jawab bahwa orang yang melakukan kekacauan adalah orang yang waras atau tidak gila, Raffles pun tercenung. Apalagi, setelah ada jawaban bahwa orang itu sedang melakukan amuk (mengamuk). Spontan kata amuk itu menginspirasi pikirannya untuk memasukkan kata itu ke dalam bahasa Inggris. Ini karena amuk tidak bisa dipadankan dengan gila yang dalam bahasa Inggris disebut crazy itu.

Seanjutnya, kata situasi amuk kemudian banyak mendapat kajian di kalangan pakar psikolog Barat. Menurut mereka, orang yang melakukan amuk bukanlah karena ada ganggua jiwa (gila) atau sekadar agresif frustrasi. Orang mengamuk bisa karena alasan irasional. Pada abad ke-19, psikolog Prancis, Gustav Le Bon, menciptakan teori tentang amuk sebagai sebuah tindakan yang dikendalikan jiwa agresif-destruktif yang mengakibatkan suasa chaos. Dan, berkat Raffleslah kata amuk mendunia.

                                              *******

Dalam soal serapan, bahasa Indonesia memiliki keunikan yang juga luar biasa. Bahkan, 'empu bahasa Indonesia, Remy Sylado (nama lain dari Alif Danya Munsyi) dalam banyak perbincangan kerap berseloroh mengatakan: '' 9 dari 10 kata bahasa Indonesia adalah asing!''

Seloroh Remy yang kemudian dituangkannya dalam sebuah buku itu memang membuat banyak orang terkesima. Apalagi, bagi mereka yang selama ini terlalu kerasukan virus 'keaslian' atau 'nasionalisme kacamata kuda'. Bahasa Indonesia lazimnya bahasa lain yang ada di dunia, termasuk bahasa campur-campur atau gado-gado.

Paling tidak, menurut Remy, bahasa Indonesia yang dikenal sehari-hari itu memiliki serapan dari 21 bahasa asing: Inggris, Portugis, Belanda, Persia, Arab, Cina, Latin, Yahudi, Turki, Yunani, Rumania, Spanyol, Italia, Prancis, Tionghoa, Tamil, Arab Gundul, Jerman, Jepang, Rusia, Sansekerta. Sedangkan, kata serapan dari dalam negeri, yaitu Sunda, Ambon, Betawi, Minangkabau, Manado, Bali, Makassar, Batak, dan Jawa. Bukan hanya itu, bahasa ini juga banyak mendapat pengaruh dari bahasa yang digunakan sekelompok orang (prokem) hingga para pejabat.

''Coba cek dari mana serapan kata bahasa Indonesia yang digunakan dalam teks proklamasi. Kita cek kalimat 'Kami Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan.... Nah setelah dicek, maka diketahui Kami (berasal dari bahasa Tamil) bangsa (Sansekerta), Indonesia (Latin), menyatakan (nyata/Jawa), kemerdekaan (Sansekerta). Itulah contoh begitu banyak serapan asing dalam bahasa Indonesia. Jadi, bahasa ini bahasa gado-gado, kan?'' ujar Remy dalam sebuah perbincangan beberapa waktu silam.

Sedangkan bila membaca buku karyanya, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Asing, Remy menulis: "Tentunya, Anda tidak asing lagi dengan jeruk lemon dan cengkih. Selain sebagai bumbu masakan, ternyata keduanya mempunyai kegunaan lain, yaitu sebagai pengharum dapur. Untuk itu, persiapkan alat dan bahan-bahannya, lalu ikuti petunjuk berikut ini."

Hasilnya, hanya dua kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu Anda (Sansekerta) dan jeruk (Jawa, Sunda ). ''Syukurlah, masih banyak kalimat yang menggunakan bahasa Indonesia yang bernuansa lokal,'' selorohnya.

Bahkan, bila mengutip pendapat penulis lepas Inayah Wardny, dalam sebuah tulisan di blog-nya dia menyatakan, bila dalam buku Loan-words in Indonesian and Malay karangan Russel Jones, ternyata begitu banyak atau ada tambahan bahasa Hindi yang termasuk bahasa serapan Indonesia.

Uniknya lagi, bila dahulu Busye ‘mengindonesiakan' kata ‘indehoi’ dan Raffles menduniakan kata amuk, yang paling mutakhir adalah mendunianya kata bambu dan padi setelah masuk ke dalam kosakata bahasa Inggris.

Alhasil, serapan baru bahasa Indonesia ternyata tak hanya indehoi atau amuk ketika memberikan kosakata ke dalam bahasa Inggris. Kini, sudah ada kata 'bambu' dan 'padi' yang juga menjadi bahasa dunia.

Dan, kenyataan ini membenarkan pernyataan mendiang cendekiawan Nurcholish Madjid. Menurutnya, tak ada bahasa atau budaya yang asli 100 persen. Di manapun budaya dan bahasa itu sesuatu yang hibrida atau campuran.

''Campuran atau hibrida itu keniscayaan dalam setiap kebudayaan. Jadi, bukan hal aneh atau tak lazim bila ada bahasa yang menyerap bahasa dari negara lain,'' ucap Nurcholish.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement