Senin 01 Sep 2014 14:00 WIB

Menguber Keberadaan Taksi Uber

Red:

Moda transportasi umum di DKI Jakarta terus mengalami perubahan. Mulai dari delman, metro mini, Transjakarta, hingga moda transportasi massal masa depan yang sedang dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, monorel, dan mass rapid transit Jakarta (MRT). Namun, dari sekian banyak evolusi transportasi umum di Ibu Kota, hanya ada satu yang stratanya dianggap paling tinggi, taksi.

Ya, taksi memang dikategorikan kendaraan umum, tapi tidak semua orang mampu naik kendaraan yang memakai mesin argo sebagai patokan tarifnya. Cukup mahalnya biaya yang harus dikeluarkan penumpang membuat taksi ditasbihkan sebagai kendaraan umum, tapi mengangkut "orang-orang khusus". Namun, mahalnya tarif yang dikeluarkan dianggap para pengguna jasa taksi sepadan dengan fasilitas dan kenyamanan yang didapat. Sebab, kebanyakan pengguna taksi dari kalangan menengah ke atas yang enggan naik kendaraan umum Jakarta yang dinilai kurang manusiawi.

Tingginya pengguna taksi di Jakarta pun dilirik sejumlah pihak hingga lahirlah aplikasi penghubung Taksi Uber. Taksi Uber yang sudah lebih dulu beroperasi di sejumlah kota di negara-negara maju kini menyasar Jakarta. Tapi, sama seperti di kota-kota pendahulunya, seperti di San Franscisco, Amerika Serikat, kehadiran Taksi Uber di Jakarta pun menimbulkan kontroversi.

Taksi Uber yang diluncurkan Juni 2014 itu menggunakan kendaraan-kendaraan mewah, seperti Toyota Alphard, Mercedes-benz, dan Toyota Camry, yang tentu saja tidak mencirikan sebagai kendaraan umum. Untuk menikmati layanan transportasi tersebut, masyarakat hanya dapat mengaksesnya melalui layanan online yang disediakan Uber di perangkat mobile phone Google Play atau App Store.

Setelah mengunduhnya, akses pemesanan transportasi itu juga hanya bisa dilakukan untuk masyarakat pengguna kartu kredit. Sebab, transaksi pembayaran tidak dilakukan secara langsung antara pengemudi dan pengguna, melainkan melalui sistem pembayaran nontunai.

Melalui sistem pemesanan secara online, pengguna bisa memesan taksi yang radiusnya paling dekat dengan si pemesan. Lalu, bagaimana soal tarif? Seperti kata pepatah, ada harga ada rupa. Mewahnya kendaraan yang digunakan Taksi Uber membuat tarifnya lebih tinggi dari tarif taksi biasa.

Khusus untuk Jakarta, argonya sebesar Rp 500 per menit dan Rp 2.850 per kilometer. Biaya itu belum ditambah argo tarif dasar sebesar Rp 7.000.

Dua bulan setelah diluncurkan, layanan taksi Uber belum banyak diketahui publik. Baru sekitar pekan kedua Agustus, Taksi Uber mulai ramai diperbincangkan. Bukan karena fasilitas yang ditawarkan, melainkan karena kontroversi kehadiran kendaraan yang operasinya tidak memiliki izin itu.

Dalam situs resminya, Uber menyebutkan, perusahaannya bukan merupakan perusahaan transportasi, melainkan perusahaan yang mengoneksikan layanan transportasi yang nyaman dan terjangkau.

Namun, jika dilihat dari pelayanan yang diberikan Uber, baik kendaraan maupun tarif yang telah ditentukan, tergolong kendaraan umum.

Republika mencoba bertanya kepada Ketua Unit Taksi Organda DKI Jakarta M Siburian apa yang menyebabkan Taksi Uber masuk kategori ilegal. Ia menyebut, pelayanan yang diberikan Taksi Uber merupakan sebuah layanan taksi.

"Jelas-jelas dia memungut bayaran dari penumpangnya. Ada tarif per kilometernya walaupun dia tidak diketahui dari mana menentukan tarifnya," kata Siburian di Jakarta, Selasa (20/8).

Selain itu, hingga kini belum diketahui kantor perwakilan Uber yang ada di Jakarta. Bahkan, Dinas Perhubungan sama sekali belum pernah menemui salah satu perwakilan Uber.

"Sewaktu diundang ke rapat di Dishub pun mereka tidak datang. Jadi, saat ini kita sama sekali tidak tahu di mana alamat kantornya, tarifnya berapa, dan siapa juga yang menjadi penanggungjawabnya," ujar dia.

Siburian menjelaskan, semua perusahaan taksi yang bernaung di bawah bendera Organda pun sepakat menolak keberadaan taksi tersebut. Sebab, selain tak berizin, layanan Uber juga tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Sehingga, dikhawatirkan penentuan tarif yang dipatok tidak disesuaikan dengan tarif perusahaan taksi lainnya yang pada akhirnya mematikan usaha taksi lainnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pun beberapa kali mengungkapkan keberadaan taksi mewah tak berizin tersebut meresahkan dan merugikan angkutan taksi yang ada di Jakarta. Ahok menilai, layanan yang diberikan Uber seperti halnya angkutan gelap. Sebab, tidak diketahui secara jelas kepemilikan layanan taksi tersebut di Jakarta.

Karena tidak berizin, mantan bupati Belitung Timur tersebut mengkhawatirkan keselamatan dan keamanan penumpang Taksi Uber. "Kalau terjadi sesuatu yang enggak diharapkan, tanggung jawab siapa kalau kamu dirugikan? Kamu bisa lacak enggak? Kantornya enggak jelas, gak ada SIUP," ucap Ahok.

Ahok menegaskan, Pemprov DKI tidak akan memberi ruang untuk jenis transportasi apa pun yang tak berizin di Ibu Kota.

Kepada Republika, Rabu (27/8), Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Muhammad Akbar mengatakan, sejauh ini Dishub sedang berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi mengenai keberadaan layanan Uber. Alasan itu yang membuat Dishub kesulitan memberikan tindakan keberadaan Uber ini.

"Kita masih berkoordinasi dengan Kemenkominfo untuk melacak Uber ini," kata Akbar saat dihubungi Rabu (27/8).

Sayangnya, Akbar tidak merinci tindakan apa yang akan dilakukan Pemprov DKI nantinya. Namun, ia menegaskan upaya pertama Pemprov mendesak perusahaan tersebut untuk mengurus perizinannya.

"Kami terbuka asal mereka kooperatif, untuk yang sebelumnya kita lihat dulu seperti apa nanti, " ujar Akbar.

Pada Juli lalu, Dishub dan Pemprov DKI sempat mengundang perwakilan Uber di Jakarta. Namun, saat itu tidak ada satu perwakilan dari Uber yang datang.

Saat dikonfirmasi melalui perwakilannya yang berada di Asia Tenggara, Regional General Manager Mike Brown beralasan perusahaannya saat ini sedang berupaya melakukan perizinan resmi di Jakarta. Namun, kata Mike, hal itu sepertinya tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.

"Kami harap, bisa duduk bersama dengan pemerintah dan instansi non pemerintah mengenai teknologi yang kami kedepankan," kata Mike dalam jawaban email yang diterima Republika, Rabu (27/8). rep:c63 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement