Ahad 31 Aug 2014 13:30 WIB
refleksi

Fatamorgana Kebenaran

Red: operator

Oleh Haedar Nashir -- Bilal bin Rabbah harus bertahan antara hidup dan mati dari siksaan kejam kaum Quraisy dalam mempertahankan kebe naran Islam yang diyakininya. Salman al-Farisi mengembara dari Persia menuju Syam dan Madinah untuk menemukan kebenaran agama.

Socrates, filosof Yunani Kuno, memilih minum racun kematian demi mempertahankan kebenaran. Al-Hallaj dan Gallileo mati dihukum gantung karena kebenaran yang dipahaminya berbeda dari lingkungannya.

Kebenaran menjadi kredo yang tak penah lepas dari pergumulan anak cucu Adam sepanjang sejarah peradaban. Kebenaran agama, filsafat, ilmu pengetahuan, dan apa pun yang diyakini manusia melekat dalam denyut nadi kehidupan yang dianugerahkan Tuhan.

Bahkan, tatkala Adam hendak dijadikan khalifah, dia harus diuji dan akhirnya mampu "menyebutkan nama-nama" sebagai bukti kehadirannya di muka bumi membawa misi kebenaran dan bukanlah sekadar wujud fisik belaka.

Kini, layakkah kebenaran diperbincangkan dengan saksama ketika dunia makin pragmatis yang memuja nilai guna dan kesenangan serbaduniawi? Para ulama, cendekiawan, intelektual, akademisi, dan siapa pun yang selama ini bergumul di dunia ilmu dan hikmah tentu memiliki jawaban untuk pertanyaan elementer ini.

Bagaimana mencandra kebenaran sebagai fondasi, bingkai, dan orientasi tindakan di tengah Fatamorgana Kebenaran dunia kehidupan yang makin hari kian ganas dan sarat ambisi serbarakus.

Erosi keyakinan Para penganut agama pada abad modern tak kalah berat dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran agama. Beragama bu kan sekadar memenuhi rukun syariat belaka, melainkan harus menghunjam ke jantung hakikat dan makrifat dalam bingkai tauhid yang murni (hanif).

Ber aga ma juga bukan se kadar seremonial personal dan sosial, lebih-lebih terjebak pada politisasi agama untuk ke pentingan-kepentingan menerabas yang se ring kali ber lawanan dengan nilai-nilai kebenaran autentik yang diajarkan agama.

Umat maupun tokoh agama tidak tertutup kemungkinan terjebak pada yang jalan salah dalam keyakinan beragama.

Sejarah menunjukkan bahwa Azar, ayah Ibrahim, dan kaum nya tersesat jalan karena me nyalahi kebenaran tauhid se bagai fitrah bertuhan dan ber agama yang menyatu dalam ruh penciptaan manusia.

Dia menyembah berhala yang dibuatnya sendiri. Ibrahim bertanya pada sang ayah, "Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai TuhanTuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dalam kesesatan yang nyata." (QS al-An'am: 74).

Namun, Azar, Namruz, dan kaumnya tak merasa sesat jalan.Merasa benar di jalan salah.Sebagaimana penganut politeis me, mereka merasa benar dengan kepercayaannya yang sesungguhnya palsu itu.

Logika para paganis itu kla sik, wajadna min abaina, kami temukan tradisi ini dari nenek moyang kami, ujar mereka. Lalu, dalam setiap sejarah umat, lahir daur ulang paganisme yang mengaku Tuhan-Tuhan yang me reka sembah itu juga Tuhan se bagai mana keyakinan para penganut agama yang diajarkan para rasul.

Kisah Ibrahim versus Azar menunjukkan pertarungan keya kinan tauhid melawan para pemuja berhala. Banyak orang bertuhan dan beragama, tetapi menyalahi kebenaran tauhid sebagai inti terdalam keberagamaan.

Betapa tak mudah meruntuhkan mitos, keyakinan, alam pikiran, dan praktik pengembahan berhala-berhala yang melumpuhkan akal sehat. Sebuah praktik keyakinan khas kaum politeis yang selalu direproduksi oleh para umat sesudahnya, yakni menuhankan segala hal yang tak patut dipertuhankan.

Berhala adalah simbol apa pun yang dipertuhankan ma nusia yang semestinya tak pantas di pertuhankan. Mengultuskan sesama manusia laksana superhuman yang hanya insan biasa juga mengerosi akidah.

Mereka menjadikan apa pun yang ada di muka bumi sebagai kekuatan maha dashyat sehingga dirinya menghamba. Mereka juga membudakkan diri pada pesona harta, takhta, dan segala kuasa dunia yang sesungguhnya nisbi dan fana.

Menuhankan segala sesuatu ciptaan Allah, bukan hanya berlawanan dengan prinsip tauhid sebagamana diajarkan Ibrahim dan para nabi utusan Allah, melainkan juga merendahkan martabat manusia sebagai makhluk berakal budi.

Bagaimana mungkin makhluk mendewakan sesamanya, lebih-lebih hasil ciptaannya sendiri yang tak kuasa apa pun atas dirinya. Namun, pengultusan itu selalu memiliki watak arogansi yang melahirkan para pengikut fatanik buta (true-beliefing) da lam segala hal yang melumpuhkan nurani dan akal sehat.

Ibrahim sendiri menunjuk kan pada ayah dan kaumnya bahwa meski ia sejak awal penganut paham tauhid, dia tak luput dari pergumulan untuk sampai pada haqq al-yaqin atas kebenaran imaninya. Ibrahim menemukan pesona "ketuhanan" pada bintang, bulan, dan ma tahari yang tampak dahsyat.

Namun, dia saksikan semuanya fana sehingga dia ber saksi, seperti tertuang dalam surah al-An'am: 75-79. Ibrahim ingin mendekonstruksi keyakinan kaum para penyembah berhala lewat kisah klasiknya itu.

Paradoks kebenaran

Kebenaran dengan derivasi nya yang lain, seperti kebaikan, keadilan, keadaban, dan nilainilai utama, masih banyak diperjuangkan oleh para tokoh agama, ulama, cendekiawan, budayawan, serta para ahli ilmu dan hikmah yang ber hati jernih di manapun mereka berada.

Namun, kenyataan juga menunjukkan api kebenaran sering kali redup karena harus bergumul dengan alam pikiran dan pesona-pesona duniawi yang dari luar tampak benar, tetapi sejatinya semu dan paradoks.

Kebenaran yang autentik dan holistis sering disilaukan oleh ke beran semu dan pinggiran.Seperti kiasan orang menyimpulkan gajah laksana kipas karena yang dia pegang telinganya.

Demokrasi dibelokkan dari prinsip siapa yang benar menjadi siapa yang bayar. Rakyat sekadar dihibur oleh para elite yang gemar menyambanginya dalam sikkus lima tahunan, tanpa me mecahkan persoalan dan derita hidupnya yang setiap ganti pe mimpin, mereka tetap miskin dan terpinggirkan.

Perjuangan hidup manusia makin memuja nilai guna meski harus menyalahi nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan. Orang begitu mendewakan kesuksesan, kemenangan, dan kedigdayaan yang serbalahiriah mi nus makna-makna keutamaan.

Itulah fatamorgana kebenaran, yakni kebenaran seolaholah dan artifisial. Fatamorgana kebenaran mereduksi kebenaran yang hakiki.Fatamorgana kebenaran bah kan mengandung paradoks ketakbenaran. Seperti, wajah manis para mafia dan kaum kapitalis rakus yang menebar sisi kebaikan dan kedermawanan untuk orang banyak, tetapi daya rusak dan kemudharatan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dan menghancurkan.

Fatamorgana kebenaran dilukiskan Allah dalam Alquran sebagai "Ya'lamuna al-dhahir min al-hayat al-dunya" (QS arRum: 7), mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, tanpa berpikir mendalam tentang yang batin dan alakhir.

Kebenaran semu dan paradoks itu laksana jabad, buih yang mengapung di atas air yang memesona seketika, tapi akhirnya sirna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement