Rabu 27 Aug 2014 21:01 WIB

Jokowi-JK Diminta Berani Ambil Kebijakan tak Populis

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Djibril Muhammad
Jokowi JK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden/ Wakil Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akan dilantik pada 20 Oktober mendatang. Berbagai tantangan sudah menanti pasangan Jokowi-JK, antara lain mengenai persoalan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai persoalan BBM ini dapat menjadi beban bagi pemerintahan baru. Itu terjadi apabila pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono tidak mengambil tindakan dalam waktu dekat sebagai solusi.

"Tentu kalau SBY tidak mengurangi subsidi BBM dan praktis akan melimpahkan pada pemerintahan Jokowi-JK, mau tidak mau Jokowi-JK harus melakukan itu," kata dia di Jakarta, Selasa (26/8).

Burhanuddin menilai persoalan BBM ini membebani postur APBN. Ke depan, opsinya antara lain dengan mengurangi subsidi BBM atau menaikkan harga. Ia mengatakan, kebijakan itu tidaklah populer bagi masyarakat. Namun ia mendorong Jokowi-JK untuk berani melakukannya.

"Jadi tiga tahun pertama, seharusnya Jokowi-JK jangan terlalu banyak pencitraan. Jadi lakukan saja kebijakan yang tidak populis. Tapi ibarat jamu, pahit sesaat, cukup menyehatkan buat ke depan," ujar dia.

Selama tiga tahun masa pemerintahan, Burhanuddin menilai, Jokowi-JK akan dihadapkan pada situasi yang dapat melahirkan kebijakan tidak populer. Salah satunya mengenai persoalan BBM. Hanya saja, ia melihat demi kesehatan keuangan negara, Jokowi-JK harus menempuhnya. Sehingga anggaran pun nantinya bisa dialihkan pada pos kebutuhan rakyat yang lain.

Burhanuddin mengatakan, persoalan BBM ini memang harus segera dicarikan solusi. Kapan itu? Ia sebenarnya melihat pemerintahan SBY masih dapat mengambil tindakan menjelang akhir periode jabatan. Ia berharap ada jalan sebagai solusi saat Jokowi bertemu SBY di Bali, Rabu (27/8).

"Saya berharap pertemuan kedua pihak, Jokowi-SBY, menghasilkan elite settlement. Bukan hanya penting secara politik buat kepentingan politis kedua pihak, tapi jauh lebih penting justru untuk kepentingan bangsa," kata dia.

Sebenarnya, Burhanuddin melihat penyelesaian persoalan BBM ini lebih baik dilakukan di masa pemerintahan SBY. Ia mengatakan, SBY sudah tidak mempunyai beban karena menjelang akhir masa jabatannya. Namun, ia pun melihat kemungkinan lain akan terulangnya situasi seperti kala transisi pemerintahan Megawati Soekarnoputri ke tangan SBY.

"Dia (Mega) menunda kenaikkan BBM dan mewariskannya untuk SBY yang terpilih pada pemilu 2004," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia itu.

Namun Burhanuddin berharap SBY dapat mengambil langkah yang berbeda dengan Megawati. Ia bahkan menyebut langkah SBY terkait BBM ini akan memberikan nilai positif di akhir masa pemerintahan.

"Jika SBY melakukan hal yang sama dengan Mega, apa bedanya SBY dengan Mega. Tapi kalau dia mau melakukan sebelum dirinya menyerahkan jabatan kepada Jokowi, yang dilantik 20 (Oktober), SBY akan dikenang sebagai negarawan yang luar biasa," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement