Anggota DPR: Pemblokiran Telegram Harus Jadi Jalan Terakhir

Ahad , 16 Jul 2017, 10:01 WIB
Aplikasi Telegram
Foto: Flickr
Aplikasi Telegram

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram pada 14 Juli 2017. Dampak dari pemblokiran ini adalah tidak bisa diaksesnya layanan Telegram versi web atau melalui komputer.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sukamta, menilai pemerintah belum membuat aturan berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang spesifik mengenai pemblokiran atas sebuah situs atau aplikasi berbasis elektronik. Sukamta menjelaskan, hal itulah yang menyebabkan pemblokiran kerap memunculkan kegaduhan dari pada penyelesaian tuntas. Ia menyatakan pemerintah harusnya melakukan langkah pembinaan terlebih dahulu, sebelum melakukan pemblokiran. Pemblokiran harus ditempuh sebagai upaya terakhir.

“Saya kira, tanpa aturan yang jelas, secara teknis, pasti akan timbul masalah. Apalagi, cara kerja pemblokiran belum ada pedoman yang jelas dan baku. Mestinya kan ada pembinaan dulu. Pemblokiran bisa jadi jalan terakhir setelah pembinaan dan peringatan sudah dilakukan tapi tidak membawa hasil," ujar Sukamta, kepada Republika.co.id, Sabtu (15/7) malam.

Menurut Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 40 ayat (2a), (2b) dan (6), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) tersebut, diamanatkan pemerintah agar membuat peraturan pemerintah (PP). Akibat tidak adanya PP ini, pemerintah kesulitan memberikan sanksi.

Sukamta menjelaskan, pemerintah katanya akan bertindak tegas kepada Google, Facebook dan Twitter yang mangkir bayar pajak, tapi hingga saat ini belum ada perangkat untuk memaksa. Termasuk, lanjut dia, dalam hal pemblokiran Telegram yang dianggap tidak membuat filter terhadap konten berbau radikalisme.

Sukamta menilai pemerintah sebaiknya mulai menghindari tindakan asal main blokir. Hal ini dikhawatirkan akan mengancam kehidupan demokrasi di negeri ini.

Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini menambahkan isu pemblokiran situs jejaring asing ini mestinya menjadi momentum untuk mengembangkan industri TI nasional. "Ini penting dilakukan supaya kita tidak bergantung kepada aplikasi asing, seperti Cina yang punya aturan ketat tetapi di sisi yang lain mendorong industri TI maju pesat," ujar Sukamta.

Diketahui, Kementerian Kominfo beralasan pemblokiran dilakukan karena ada banyak sekali kanal di layanan tersebut yang bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kesebelas DNS yang diblokir tersebut, yakni t.me,telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org.