REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko, menilai sikap Australia dengan melakukan penyuapan terhadap nakhoda dan ABK kapal untuk membawa kembali imigran gelap asal Bangladesh, Myanmar, dan Sri Lanka sebagai tindakan yang tidak beretika. Namun, Moeldoko enggan berkomentar lebih jauh mengenai hubungan Indonesia dan Australia.
''Itu konteksnya masih dalam konteks politik, tetapi dari sisi etika, itu tidak pas, perbuatan seperti itu,'' ujar Moeldoko di Mabes TNI, Selasa (16/6).
Kendati begitu, terkait pengamanan di wilayah perbatasan perairan, Moeldoko mengakui, pihaknya masih mengalami berbagai kendala. Salah satu kendala terbesar adalah minimnya Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dalam mencakup semua wilayah pantai Indonesia.
Menurut Panglima TNI, Indonesia memiliki 81 ribu kilometer panjang batas garis pantai. Namun, panjang garis pantai ini tidak didukung dengan jumlah kekuatan yang masih belum memadai.
''Sehingga ada beberapa sektor yang kadang-kadang kami kecolongan. Ini harus menjadi atensi bagi kita semuanya ke depan secara serius,'' kata mantan Pangdam Siliwangi tersebut.
Lebih lanjut, Moeldoko menjelaskan, keterbatasan Alutsista ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan kapal yang dimiliki TNI. Tapi juga dengan kemampuan radar yang dimiliki TNI.
''Semua dalam konteks yang lebih luas. Kalau itu bagian dari kekurangan kami, maka akan selalu kami evaluasi,'' ucapnya.
Sikap Australia dengan melakukan penyuapan sebesar 5 ribu dolar as terhadap nakhoda dan ABK kapal untuk membawa kembali sekitar 65 imigran gelap asal Bangladesh, Myanmar, dan Sri Lanka ke Indonesia.
Praktek ini pun mendapat sorotan publik. Bahkan, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, sempat menanyakan masalah ini kepada duta besar Australia.