Jumat 22 Aug 2014 14:00 WIB

Dam Kolektif, Kebijakan Setengah Jalan

Red:

JAKARTA — Penyelenggaraan haji sudah sejak lama menjadi perbincangan "seksi". Publik baik akademisi, ulama, maupun politisi kerap menyoroti urusan pemberangkatan ke Tanah Suci.  Semua berbicara soal perbaikan pelayanan ratusan ribu jamaah saat sampai di Saudi.

Kasus korupsi haji yang menyeret nama sebelumnya, menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, menjadi lampu kuning untuk para pejabat Kemenag menyelenggarakan haji. Terlebih, Menag disertai oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Anggito Abimanyu yang langsung mengundurkan diri.

Posisi Menag diisi oleh wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lukman Hakim Saifuddin. Sedangkan,  posisi Ditjen PHU digantikan oleh Abdul Djamil yang sebelumnya menduduki jabatan sebagai direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag.

Tidak banyak kebijakan rezim terdahulu yang direvisi Menag baru. Selama masa kepemimpinan Anggito, harus diakui pelayanan haji menjadi lebih baik. Banyak pihak menilai Kemenag berhasil membangun efisiensi sewa pemondokan haji, transparansi, prinsip keadilan dalam pengisian kuota, dan layanan penerbangan yang sebelumnya hanya mimpi.

Hanya, Lukman melihat kebijakan pembayaran dam tamattu secara kolektif sudah diambil dan harus ditangguhkan. Menag berpendapat, butuh kajian lebih mendalam dari segi syariat di samping persiapan pelaksanaannya yang dinilai belum matang.

"Soal dam, sudah diputuskan bahwa pembayaran dam kolektif ditunda," kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Abdul Djamil kepada Republika, beberapa waktu lalu. Dikatakannya, keputusan diperoleh setelah menempuh pembahasan panjang dalam rapat bersama komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 24 Juli lalu.

Alasannya, Kemenag merasa harus mengkaji ulang kebijakan agar tak menyalahi syariat. Di samping itu, MoU antara Menag dan IDB tentang dam kolektif belum bersifat mengikat serta belum ditindaklanjuti dengan kontrak kerja mengenai pelaksanaan teknis, sedangkan waktu operasional penyelenggaraan haji sudah semakin dekat. Untuk itu, seluruh kanwil dan kankemenag hendaknya menyosialisasikan penundaan pelaksanaan dam kepada jamaah.

Wacana penangguhan kebijakan diawali dengan kritik dari Menag Lukman Hakim soal masuknya komponen dam tamattu dalam biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 2014. Hal tersebut ia sampaikan pada 18 Juli 2014. Menurutnya, pembayaran denda untuk jamaah haji yang dananya diambil dari dana optimalisasi tersebut tidak tepat.

Ditinjau dari sisi syariat, pembayaran dam tamattu merupakan kewajiban individual, bukan jamaah. "Maka, menjadi tidak tepat apabila pembayarannya dibiayai dari dana optimalisasi yang sumbernya notabene dari dana calon ibadah haji yang lain," katanya. Pelaksanaan dam tamattu pun bisa dilakukan dengan menyembelih hewan kurban atau berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang ke Tanah Air.

Kemenag dan Komisi VIII DPR RI sebelumnya telah menyepakati pembayaran dam haji tamattu akan dilakukan secara kolektif mulai tahun ini. Dana untuk pembayaran denda tersebut diambil dari optimalisasi dana setoran awal BPIH.

Saat masih menjabat sebagai dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Anggito Abimanyu menjelaskan, dam haji tamattu bisa lebih murah karena jamaah haji Indonesia akan mendapatkan optimalisasi dari pembayaran ke Islamic Development Bank (IDB) yang dilakukan secara kolektif.

Anggito mengungkapkan, komponen dam haji tamattu saat ini sebesar 475 rial Saudi per jamaah. Jumlah ini lebih murah dibandingkan harga pasaran normal kambing di Arab Saudi yang berada pada kisaran 490-500 rial Saudi.

Tahun lalu, jamaah haji Indonesia masih langsung membayar dam karena belum termasuk komponen BPIH. Setidaknya, hampir 99 persen jamaah Indonesia yang kuota normalnya berjumlah 210 ribu orang, menjalankan tamattu. Umumnya, jamaah Indonesia terkena kewajiban membayar dam tamattu. Penyebabnya, saat tiba di Arab Saudi, waktu haji belum tiba sehingga jamaah bisa melakukan umrah.

Lukman pun mengapresiasi semangat dari kebijakan yang dibuat rezim sebelumnya. Kebijakan tersebut bertujuan meringankan beban jamaah Indonesia dan membuat pelaksanaannya lebih praktis. Namun, yang menjadi permasalahan, yakni dana optimalisasi itu bersumber dari jasa bank atas setoran awal para calon jamaah yang sedang ngantri selama belasan tahun.

Lebih lanjut, Inspektur Jenderal Kemenag M Jasin menerangkan, teknis pelaksanaan kebijakan belum matang sebab Menag dan Ditjen PHU sebelumnya baru melakukan kunjungan saja ke IDB dan sama sekali belum melakukan perjanjian apa pun ataupun kontrak soal teknis pelaksanaan dam kolektif. Maka menurutnya, dam kolektif belum menjadi kebijakan.

Mantan wakil ketua KPK itu mengungkapkan, selain disebabkan dam merupakan kewajiban individu, pelaksanaan dam kolektif sungguh riskan karena pendataan soal jamaah yang terkena dam dan mana yang tidak. Sebab, banyak pula jamaah yang berubah pikiran di tengah pelaksanaan haji.

Wakil Ketua Komisi VIII DPRRI Ledia Hanifa Amalia mempersilakan penangguhan itu. Syaratnya, harus ada kajian yang jelas dan tetap berkoordinasi dengan DPR. Ia mengatakan, ide membayar dam secara kolektif berasal dari Kemenag. Ketika itu, ujar Ledia, Kemenag mengaku sudah mengkajinya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Jikapun kemungkinan terjadi pembatalan kebijakan, menurutnya, tinggal dilaporkan saja kepada DPR. "Simpel saja, pengambilan keputusan itu kan harus bersama DPR, jadi tinggal dilaporkan saja," ujarnya.

Ledia sempat menjelaskan, terdapat praktik kriminalisasi terhadap dam pada tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, pembelian kambing sering dititipkan kepada calo. Setelah dibelikan untuk kambing, ternyata kambingnya belum cukup syarat. Sedangkan, jamaah tidak mengetahui hal tersebut.

Kritikan dan usulan kaji ulang akhirnya ditindaklanjuti. Sebab sejatinya, suatu kebijakan yang dilahirkan para pemegang pemerintahan bertujuan melahirkan kemudahan lagi solusi dan sebisa mungkin tak menyalahi ketentuan syariat. Terlebih, menyangkut kepentingan umat, terkait ritual haji.

Bersama MUI, kebijakan dam kolektif dari dana optimalisasi pun dibicarakan kembali dan lantas ditangguhkan. Bak gayung bersambut, MUI merasa kebijakan tersebut akan menyebabkan ketidakadilan pelayanan haji sebab tidak semua jamaah diwajibkan membayar denda.

rep:c87 ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement