Kamis 21 Aug 2014 12:00 WIB

Kemerdekaan Intelektual

Red:

Bulan ini, bangsa Indone sia memperingati dekla rasi kemerdekaannya yang terjadi 69 tahun si lam, pada hari Jumat, 8 Ramadhan 1364, berte pat an dengan 17 Agustus 1945. Di Ame rika Serikat (AS), orang menyebutnya the Day of Independence, yang secara har fiah berarti hari lepasnya ikatan kebergantungan, hari bermulanya kemandirian, kebebasan memilih dan menentukan nasib sendiri. Jika AS se menjak itu bebas lepas dari penguasaan Inggris, maka Indonesia mulai hari itu menyatakan dirinya merdeka dari pe ngua saan Jepang dan Belan da. Na mun, ke merdekaan itu umum nya dipahami orang secara politik bela ka, seka dar mem punyai, kedaulatan atau pemerinta h an sendiri. Mungkin karena itulah hing ga saat ini, Indonesia masih te rus berjuang untuk merdeka secara eko nomi, hukum, pendidikan, dan lainnya.

Salah satu yang tak kalah pentingnya untuk kita soroti adalah sejauh mana bangsa Indonesia kini telah merdeka secara intelektual. Kemerdekaan inte lek tual disini bukan sekadar kebebasan berpendapat, akan tetapi kemandirian berpikir dan berijtihad, kemampuan mengkritisi dan menolak unsur-unsur asing yang tidak sesuai dengan nilainilai luhur bangsa dan agama, ketidakbergantungan pada sistem pemikiran dan paradigma keilmuan asing, serta kemampuan merumuskan konsep-kon sep maupun metodologi sendiri dalam se tiap bidang ilmu pengetahuan. Ke mer dekaan ilmiah akal pikiran atau ‘intellectual independence’ semacam inilah yang kita harapkan menjelma di perguruan- perguruan tinggi Indonesia.

Studi Hukum Islam

Ambillah sebagai contoh kasus studi hukum Islam yang masih belum merdeka dari kungkungan paradigma asing. Ti dak sedikit akademisi kita di perguruan tinggi melihat hukum Islam sebagai mana sarjana-sarjana Eropa melihatnya, dan membahas seluk-beluk Syariat Is lam dengan pendekatan dan kerangka teori mereka. Berikut ini beberapa contohnya.

Pertama, teori perkembangan yang dianut oleh Ignaz Goldziher. Sarjana ketimuran asal Hungaria ini menulis de ngan panjang lebar bahwa hukum Is lam itu mengalami perkembangan (Entwic klung) dan pemekaran (Entfal tung) da lam arti tidak langsung matang, leng kap atau tertib dari permulaan. Me nurutnya, hukum Islam mengalami proses sejarah yang panjang dan bertahap, mulai dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, kematangan dan akhirnya keruntuhan.

Dan semua itu, katanya, terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa ke masa: "... nach Massgabe des öffentlichen Bedürfnisses die gesetzliche Entwicklung des Islams gleich nach dem Tode des Propheten ihren Anfang nimmt" (Lihat: Vorlesu ngen über den Islam, edisi kedua, hlm. 32). Teori ini bagaikan ‘rukun iman’ bagi para pengkaji hukum Islam di Barat.

Kedua, ‘teori pinjaman’ yang lazim dalam penelitian sejarah. Teori ini meng andaikan bahwasanya agama –seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni– adalah hasil budi-daya dan rekacip ta manusia. Ia tidak muncul dari langit biru, melainkan berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, puak atau bangsa tertentu dengan bangsa lain nya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi).

Bertolak dari andaian ini para sarjana asing pengkaji hukum Islam berjibaku men cari-cari apa yang mereka sangka atau percaya sebagai asal-usul (origins), sumber, atau anasir luar (foreign elements) yang diduga mempu nyai pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Biasanya akan diklaim bahwa sebagian besar ajaran Islam mengenai akidah dan ibadah diambil dari doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun Kris ten. Demikian dikatakan CS Hur gronje, A.J. Wensinck, Carl H Becker, Joseph Schacht, Rudolf Macuch, Georges Vajda, Lazarus-Yafeh, Uri Ru bin, dan lain-lain.

Ketiga, ‘teori pengibulan’ yang menuding para ulama Islam pada kurunkurun pertama Hijriah telah melakukan semacam konspirasi penipuan kepada masyarakat dengan ‘menyuapkan’ ha dis-hadis palsu ke ‘mulut’ Nabi, –sebuah tuduhan keji luar biasa. Sarjana-sarjana Barat semisal Harald Motzki, misalnya, telah memuji seorang rekan yang kata nya berhasil membuktikan hal itu: "has already demonstrated with some good examples how older traditions of the Sahaba become hadith of the Prophet and the marasil become marfu‘at" (Lihat: The Origins of Islamic Jurisprudence, Leiden 2002, hlm. 297).

Kemerdekaan Hukum

Menurut sejarawan hukum Norman Anderson, pemberlakuan hukum Eropa yang notabene sekular di negara-negara Islam baru berlangsung sekitar 150 tahun terakhir. Artinya, selama ratusan tahun se belum itu, umat Islam di seluruh pe losok dunia men jadikan Syariat Islam sebagai sistem hukum, perundang an dan peradilan yang secara komprehensif mengatur kehidupan pri badi, sosial, ekonomi, politik dan lain-nya.

Baru di kemudian hari, menyusul kedatangan bangsa-bangsa Eropa secara besar-besaran ke Asia dan Afrika, peru bahan amat drastis terjadi dimana-ma na. Satu demi satu negara-negara Mus lim (tentu saja dipelopori oleh tokoh-to koh hasil didikan Belanda, Inggris atau Prancis) menggantikan hukum Islam dengan hukum kolonial sekular: "[The] Islamic law, together with the system of qadi courts which used to apply it, has now been displaced, in one Muslim coun try after another, by statutory laws of largely Western inspiration and by a system of secular courts set up to apply these new codes," demikian tulis Ander son dalam bukunya, Law Reform in the Muslim World, London 1976, hlm. 1-2.

Lenyapnya kemerdekaan hukum di dunia Islam bermula di Turki pasca modernisasi (Tanzimat) pada tahun 1839 yang memberlakukan undang-undang hukum pidana dan perdagangan maritim Eropa. Sesudah itu Mesir dibawah Khedive Isma‘il mengadopsi hukum Perancis yang disebut Code Napoleon pada tahun 1868. Di wilayah Nusantara, umat Islam di Aceh, Palembang, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan seki tar nya atau dipaksa menerima sistem hu kum Belanda, sementara saudarasaudara mereka di semenanjung Malaya, Sabah, Sarawak dan Brunei disuruh menerapkan hukum Inggris.

Perjuangan meraih kemerdekaan hukum memang masih panjang, khususnya bagi umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia. Walau pun sistem peradilan Islam (Pengadilan Agama) masih diizinkan beroperasi (melalui UU No.7/1989), akan tetapi otoritasnya masih sangat terbatas dan bahkan seringkali digugat. Baru di tahun 1991 lewat instruksi Presiden (Inpres No.1/1991) lahir Kompilasi Hukum Islam. Di samping banyaknya kendalakendala politik dan kultural, adanya mispersepsi di kalangan akademisi turut menghambat cita-cita tersebut.

Bibit-bibit salah paham terhadap Syariat Islam terus bersemai karena dipupuk oleh opini-opini miring para sarjana asing pengkaji Islam. Di an taranya adalah pendapat yang menga takan Syariat Islam itu sekadar wacana, karena kenyataannya tidak pernah dilaksanakan. Pendapat ini dilon tarkan Noel J. Coulson.

Menurutnya, alasan uta ma mengapa banyak ahli fiqh meno lak jabatan hakim di pengadilan tinggi ialah karena mereka tahu betul bahwasanya Syari‘at itu hanyalah adicita agama, hanya dipelajari untuk diketahui tetapi bukan untuk diterapkan sebagai sistem undangundang. Pandangan keliru ini jelas menga baikan fakta sejarah umat Islam, seolaholah orang Islam tidak pernah dan tidak mau mengamalkan syariat agamanya.

Walaupun benar bahwa tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Islam diberlakukan, hal itu tidak lantas berarti bahwa syariat Islam merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga se karang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabai kannya adalah dosa. Namun anehnya, teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan dipromosikan Jo seph Schacht ini justru diterima oleh sebagian tokoh di Indonesia dalam bentuk dikotomi ‘Islam normatif’ versus ‘Islam historis’.

Persepsi lain menuduh Syari‘at Islam itu sangat sewenang-wenang –"authoritarian to the last degree," tukas Hamil ton A. Gibb. Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan para cendekiawan liberal yang dengan alasan sama menolak secara mentah-mentah implementasi syariat Islam di Indonesia. Pa da hal terdapat ‘seabreg’ data historis betapa luas dan luwesnya cara penetapan hukum maupun peradilan yang dipraktikkan oleh para khulafa’ dan fuqaha’ selama berabad-abad, seperti kita lihat pada kumpulan fatwa.

Pandangan negatif juga disuarakan oleh Christian Snouck Hurgronje. Me nurutnya, sejak kurun pertama telah terjadi perceraian antara syariah (yakni ulama’ yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’ atau penguasa yang menentukan sis tem perpolitikan). Masing-masing ber jalan mengikut caranya sendiri. Para penguasa tak peduli apa kata ulama, se mentara ulama mengecam tirani pe ngua sa dan kerusakan masyarakatnya.

Namun jika kita teliti, tampaklah bahwa kesan nega tif orientalis Belanda ini tak lebih dari sekadar generalisasi. Pernyataannya itu hanya betul untuk beberapa kasus tertentu tapi tidak terbukti dalam ba nyak periode dimana terjadi ‘simbiosis konstruktif’.

Lawrence Rosen mengusung opini yang tak kurang buruknya. Menurutnya, Hukum Islam itu kacau-balau, bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo-Amerika atau civil law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional. Opini ini sama dengan pernyataan seorang tokoh nasional Indonesia bahwa Syari‘at Islam itu cermin budaya Arab dan oleh karenanya implementasi Syariah itu sama dengan Arabisasi yang artinya mundur ke abad ketujuh Masehi.

Dalam bukunya, Rosen mengutip ungkapan beberapa praktisi hukum di Barat yang melecehkan lembaga peradilan Islam. Ia sendiri lantas menarik kesimpulan bahwa "… in the Islamic courts of Morocco the meta-system of the law and the characteristic forms of indeterminate judgements are remarkably close to the overall culture of its people." Pendapat miring Rosen ini memantulkan kembali kesan orientalis klasik tentang Islam sebagai sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern yang jauh lebih maju dan canggih!

oleh: syamsuddin arif

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement