Kamis 21 Aug 2014 03:30 WIB

Pengamat: MK Bukan Lagi Sekadar Mahkamah Kalkulator

Rep: C57/ Red: Citra Listya Rini
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Foto: Republika/Amin Madani
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak lagi berfungsi sekedar sebagai Mahkamah Kalkulator dalam mengadili sengketa Pilpres 2014.

"Pada awalnya, sesuai dengan ketentuan UU tentang MK, MK hanya bertugas menentukan berapa jumlah suara yang benar dan yang tidak benar dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Pilkada, Pilleg dan Pilpres," kata Zainal di Jakarta, Rabu (20/8).

Zainal mengatakan dalam perjalanannya, terjadi pengembangan dalam doktrin MK yang mengharuskan kualitas pemilu juga dipertimbangkan dalam keputusan MK. Doktrin itu lahir dari kasus PHPU di pilkada karena kualitas pilkada di daerah yang sangat buruk.

Zainal mengungkapkan doktrin baru itu adalah pelanggaran dalam proses pilkada secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Doktrin itu juga dikembangkan dari undang-undang tentang MK.

Pelanggaran Pilpres secara TSM tentu harus dibuktikan oleh hakim MK. Mencermati proses di MK selama ini, Zainal menilai secara logika agak sulit untuk mengabulkan gugatan pihak Prabowo-Hatta dengan alasan pelanggaran PHPU secara TSM. 

Seandainya akan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa tempat, MK pun harus cermat menghitung. Apakah jumlah suaranya signifikan atau tidak untuk mengubah hasil perolehan suara. 

Jika hasilnya signifikan, ujar Zainal, silakan saja MK memutuskan PSU di tempat yang dianggap terjadi pelanggaran pilpres secara TSM. Namun, jika jumlah suaranya tidak signifikan ditegaskannya untuk apa dilakukan PSU.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement