Rabu 20 Aug 2014 13:00 WIB

lenyepaneun- Apa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pusat Perbelanjaan?

Red:

Beberapa waktu lalu Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, menyatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung akan segera merealisasikan penataan kota dengan konsep baru, satu taman satu perpustakaan. Konsep ini merupakan upaya pemerintah dalam mendorong masyarakat untuk meningkatkan daya baca. Selain itu, untuk memberikan pelayanan perpustakaan langsung di tempat masyarakat beraktivitas.

Nanti, di setiap taman itu, ada semacam kotak tempat buku-buku se perti perpustakaan. Toilet alias jamban juga tersedia, sehingga di taman itu masyarakat bisa nongkrong nyaman sambil membaca.

Tentu saja kita mendukung sepenuhnya berbagai upaya kreatif Pemkot Bandung untuk mena namkan dan menumbuhkan-suburkan minat dan kebiasasan mem baca buku dan media cetak lain ya warga kota ini. Sayangnya, sang walikota tak mengungkapkan kapan diwujudkan konsep baru kreatif tersebut.

Kehadiran perpustakaan mini di setiap taman di kota ini, tentu bukan untuk meningkatkan daya baca seluruh pengungjung taman. Karena, mereka umumnya tidak/ belum memiliki daya baca atau minat baca. Jangankan daya baca buku, minat baca koran harian saja tidak mereka punyai.

Membaca bagi mereka bukanlah kebutuhan primer, bahkan bu kan kebutuhan sekunder sekalipun. Mereka merasa bisa hidup baik tanpa membaca buku dan media cetak lainnya. Padahal, hingga detik ini, tak seorang pun di negeri ini yang bisa menjadi tokoh atau pemimpin besar tanpa tekun membaca banyak buku dan media cetak lainnya. Di manakah ada negara yang bisa maju pesat tanpa rakyatnya terbiasa membaca banyak buku dan media cetak lainnya?

Untuk mendukung tujuan pokok wali kota Bandung itu, melalui media ini, kita juga menawarkan gagasan lain dengan tujuan yang sama. Seperti kita saksikan bersama, di Bandung banyak pusat perbelanjaan yang telah beroperasi belasan tahun. Bahkan, ada yang telah puluhan tahun. Mereka telah menik mati banyak keuntungan dari bisnis itu. Pemerintah sejak lama telah memerintahkan agar perusahaan-perusahaan swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) wajib menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk pembangunan masyarakat.

Ini biasa disebut tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP) atau coorporate social responsibility (CSR). Kita tak mengetahui apa kah Pemkot Bandung pernah mem buat peraturan daerah (Perda) tentang TJSP yang beroperasi di kota metropolitan ini, termasuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pusat perbelanjaan atau pertokoan.

Kita sangat mengharapkan, agar Pemkot Bandung mewajibkan semua pemilik dan pengelola pusat perbelanjaan (mal) untuk menyediakaan perpustakaan umum. Di setiap mal harus tersedia sebuah per pustakaan umum seluas mini mal 100 meter persegi. Perpusta kaan umum tersebut harus dikelola oleh orang-orang profesional dalam dunia perpustakaan yang dibayar oleh pemilik/pengelola setiap pusat perbelanjaan yang bersangkutan. Ini merupakan wujud nyata TJSP para pemilik mal-mal tersebut.

Upaya ini bagaikan menaburkan gula ketengah kerumunan se mut. Jadi, tidak seperti pengelola Perpustakaan Daerah Jawa Barat dan Pemkot Bandung yang selama ini justru menaburkan ‘gula’ di pinggir kota Bandung, yang jauh dari kerumunan ‘semut’. Di perpustakaan umum di setiap mal itu harus tersedia pula fasilitas teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memungkinkan para pengunjung mengakses (membaca) bukubuku dan media massa elektronik.

Secara teratur, di perpustakaan mal itu, para penulis dan penerbit buku dapat pula menampil kan karya-karya baru mereka, yang diapresiasi langsung oleh para apresiator handal dan para pengunjung perpustakaan mal. Ini juga merupakan upaya mendekat kan warga masyarakat (pembaca) dengan penulis dan penerbit buku dan media cetak lain nya. Hubungan dekat pengunjung dengan penulis tentu dapat pula meningkatkan minat dan kebiasaan membaca warga kota ini.

Selain menyediakan perpusta kaan umum, Pemkot Bandung melalui Perdanya juga bisa mewajib kan setiap pemilik dan pengelola mal untuk menyediakan ruang untuk pasar buku murah. Minimal lima persen dari seluruh ruangan di sebuah pusat perbelanjaan harus menjadi pasar buku murah. Para pedagang kecil di pasar buku tersebut sama sekali tidak dikenai kewajiban bayar apa pun.

Tentu saja mereka harus menjual buku dengan potongan harga jauh di atas potongan harga buku murah di pasar buku Palasari, misalnya. Potongan harga buku bisa men capai 30-50 persen (tergantung kepada besaran potongan harga yang diberikan setiap penerbit buku). Tentu saja mereka dilarang men jual buku-buku bajakan. Ini juga merupakan wujud nyata TJSP pusat-pusat perbelanjaan meraup banyak untung di kota besar ini.

Tanpa kita hitung dengan pasti, jumlah pengunjung pusat perbelanjaan niscaya jauh lebih banyak daripada pengunjung taman-taman di kota ini. Hasil pengalaman dan pengamatan kita sehari-hari menjuk kan, tak semua orang yang datang ke mal turut berbelanja. Ba nyak kaum suami dan anak yang ter paksa bengong-bengong saja se lama berjam-jam menunggu istri/ ibunda tercinta yang cuma mem beli satudua celana dalam, misalnya.

Pemkot Bandung dan seluruh pemerintah daerah (Pemda) di negeri ini seharusnya prihatin sekali dan peduli terhadap sangat rendahnya minat baca warga masyarakat Indonesia umumnya. Data resmi menunjukkan, indeks minat baca orang Indonesia 0,001 persen.

UNESCO (Badan Perserikatan Bangsa Urusan Pendidikan, Sosial, dan Kebudayaan) mencatat, indeks minat baca warga masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Ini ber arti, dari 1.000 warga hanya seorang yang memiliki minat membaca.

United Nations Development Programme (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa) juga meng ungkapkan, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen. Itu artinya, minat baca dan melek huruf orang dewasa di Indonesia sangat rendah. Ini sangat memprihatinkan bahkan sudah dapat dikatakan sebagai bencana nasional, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Kepala Seksi Pengelolaan Perpustakaan Pusarda Kota Bandung, Neti Supriati.

Menurut Neti, sangat rendahnya indeks minat baca warga masyarakat Indonesia tersebut disebabkan faktor keterisolasian (terasing). Kini perpustakaan sudah menjadi tempat yang cenderung terisolasi dari kerumunan orang untuk mencari ilmu. Fungsi dan kegunaannya tidak lagi dibutuhkan sebagian besar orang karena fasilitas prasarana dan sarana yang kurang memadai.

Faktor penyebab lainnya, sebagian besar siswa masih menganggap membaca dan menulis hanya sebatas untuk memenuhi tugas sekolah, belum menjadi kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas ilmunya. Ini didukung pula oleh kemajuan teknologi informasi internet atau TIK yang te lah berhasil menembus ruang dan waktu dalam menyediakan pela yan an informasi berbasis teknologi sehingga perpustakaan jadi jauh dari para peminatnya.

Bila dalam waktu dekat ini Pem kot Bandung benar-benar melakukan berbagai upaya kreatif yak ni menghadirkan perpustakaan di taman-taman dan di pusat-pusat perbelanjaan (plus pasar buku murah), kita berharap besar, perlahan namun pasti, warga kota ini khususnya dan warga negeri ini umumnya, akan memperlakukan buku dan media cetak lainnya sebagai ke butuhan pokok, seperti halnya makan dan minum.

Tak ada negara yang maju pesat tanpa pendidikan yang bagus! Tak ada pendidikan yang bagus tanpa buku dan media cetak lain nya yang dikonsumsi oleh segenap warga masyarakat yang telah melek huruf! Tak seorang pun bisa menjadi pemimpin atau tokoh besar tanpa membaca dengan tekun. Sejarah negara-negara modern sejak dahulu telah membuktikan ini. Percayalah!

Oleh: S. Sahala Tua Saragih

Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement