Sabtu 16 Aug 2014 15:17 WIB

Pakar Hukum Ingatkan DPD Soal Gugatan UU MD3

Rep: c87/ Red: Joko Sadewo
Margarito Kamis
Margarito Kamis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, menilai permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (15/8) harus disertai dengan argumen yang kokoh.

"Kalaulah DPD mempersoalkan rumusan kewenangan mereka, DPD memiliki legal standing mengajukan permohonan judicial review. Persoalannya adalah seberapa hebat konstruksi argumen untuk mematahkan pasal-pasal yang mengandung pemetasan kewenangan mereka," kata Margarito saat dihubungi Republika Online (ROL), Sabtu (16/8).

Argumen yang kokoh, lanjutnya, akan memperlihatkan adanya diskriminasi pembuatan UU MD3 dalam memperlakukan DPD. "Argumen itu memperlihatkan ada perlakuan yang tidak sama terhada DPR dan DPD, tp tergantung derajat rasionalitas permohoan mereka," ujarnya.

Supaya argumen DPD kokoh, kata Margarito, semestinya DPD menyertakan pendapat para ahli dengan berkonsultasi dengan ahli hukum tata negara. "Walaupun memang ahli tata negara mesti mereka hadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan di MK kelak, akan jauh lebih hebat kalau sejak awal mereka menyertakan ahli dalam merancang permohonan uji materi," imbuh Doktor Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate tersebut.

Margarito berpendapat ada beberapa pasal dalam UU MD3 yang khusus berkaitan dengan kewenangan DPD yang harus direvisi. Antara lain, DPD mesti disertakan dalam perumusan setiap tahapan sampai pengambilan keputusan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) MD3. Seperti yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA), pajak daerah, pembentukan dan penggabungan daerah, dan sebagainya.

"DPR harus menyertakan mereka. Memang tidak mengambil keputusan dalam sidang paripurna, tapi mereka harus diberi kesempatan dalam pembahasan," jelasnya.

Sebelumnya DPR mengesahkan UU MD3 pada 8 Juli 2014. Undang-undang tersebut revisi atas UU Nomor 27 Tahun 2009 yang dibatalkan MK. DPD menilai UU tersebut diskriminatif terhadap lembaga mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement