Senin 11 Aug 2014 19:47 WIB

Jalur Optimalisasi, Perlukah?

Rep: C82/ Red: Julkifli Marbun
Siswa SMA
Foto: Yasin Habibi/Republika
Siswa SMA

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Depok mengeluarkan kebijakan terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang disebut Jalur Optimalisasi. Wakil Ketua Panitia PPDB yang juga merupakan Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMA Negeri 3 Kota Depok, Hamidah (45), mengatakan kebijakan tersebut dibuat untuk memfasilitasi minat masyarakat yang tinggi.

“Dari Dinas Pendidikan kota Depok menginstruksikan bahwa SMAN 3 harus menambah tiga kelas lagi untuk memenuhi minat masyarakat yang sedemikian  tinggi terhadap sekolah negeri khususnya SMA Negeri 3 Depok,” kata Hamidah kepada Republika, Senin (11/8).

Hamidah mengatakan, proses PPDB seharusnya telah selesai dilakukan sebelum masa orientasi peserta didik (MOPD) dimulai pada tanggal 14 Juli. Namun, jalur optimalisasi tersebut membuat PPDB diperpanjang hingga tanggal 6 Agustus.

Peserta yang mendaftar melalui jalur optimalisasi, lanjut Hamidah, tidak lagi mendaftar melalui jurnal atau sistem online. Namun, orang tua peserta didik yang harus langsung datang ke sekolah untuk mendaftar. “Kenapa orang tua saja, karena kalau sama muridnya juga terlalu rame. Kan udah mulai kegiatan MOPD, terlalu penuh jadinya. Jadi biarlah siswa di rumah, orang tua selesaikan administrasi. Lembar peminatannya dibawa orang tua ke rumah, dan besoknya diserahkan lagi,” jelasnya.

“Tapi diharapkan, nilai UN-nya tidak jauh dari passing grade tahap 1 dan 2 kita yaitu 33,95. Ya 28, 29 masih bisa diterima,” ujarnya menambahkan syarat lain untuk pendaftaran jalur optimalisasi.

Menurut Hamidah, pihak sekolah tidak pernah memberi informasi apa pun terkait jalur tambahan PPDB tersebut. Masyarakat, menurutnya, mendapatkan informasi langsung dari Dinas Pendidikan Depok. “Tidak ada pengumuman dari pihak sekolah. Mereka tahu sendiri. Jadi, mereka minta ke dinas, kemudian ada sinyal dari dinas bahwa akan dibuka kelas tambahan, mereka datang langsung ke sini bertanya,” kata Hamidah.

Mengenai biaya yang harus dibayarkan, selain untuk kebutuhan personal seperti pakaian, tes, foto, dan map raport yang berjumlah Rp 1.450.000, para peserta didik yang masuk melewati jalur optimalisasi juga dibebankan biaya tambahan. Biaya tersebut, kata Hamidah, diigunakan untuk mengubah laboratorium yang ada menjadi ruang kelas.

“Kan mau nggak mau harus mengubah lab untuk dijadikan kelas. Mengubah itu kan butuh biaya dan itu tidak dibiayai pemerintah. Jadi ada kontribusi orang tua yang diserahkan langsung ke bendahara,” ujarnya. “Besarannya sih relatif, ada yang 500 ribu, yang sampe lima juta juga ada,” tambahnya lagi.

PPDB melalui jalur optimalisasi juga dibuka di SMA Negeri 4 Kota Depok. Wakil Ketua Panitia PPDB SMAN 4 Suryanta mengatakan berdasarkan hasil rapat dengan Kepala Dinas Pendidikan Depok, seluruh SMA Negeri di Depok boleh membuka jalur tersebut.

“Hanya saja sesuai kebutuhan dan kemampuan sekolahnya,” kata Suryanta, Senin (11/8).

Menurut Suryanta, jalur optimalisasi selalu ada setiap tahun. Tahun ini, SMAN 4, lanjutnya, hanya menerima 44 orang peserta didik yang disebar ke sembilan kelas yang sudah ada. Penambahan tersebut membuat pihak sekolah juga harus menggunakan laboratorium yang tidak terpakai untuk dijadikan ruang kelas.

Mengenai persyaratan yang diajukan, Suryanta mengatakan, tidak menerima pendaftar yang memiliki nilai ujian nasional (NUN) terlalu jauh dari NUN tersendah yang diterima melalui jalur online (tahap 1 (bebas kawasan), tahap 2 (sesuai kawasan), dan tahap untuk keluarga miskin). “Yang penting nggak boleh di bawah 20,” ujarnya.

Rentan Dimanfaatkan Calo

Salah satu peserta didik yang diterima melalui jalur optimalisasi di salah satu sekolah, MC (13) mengatakan orang tuanya mendapatkan informasi mengenai jalur tersebut dari salah satu oknum LSM di Depok. LSM tersebut lah yang memasukan ia ke sekolah tersebut.

“Tapi yang ngurus orang tua. Sebenernya nggak lewat lembaga, langsung ke sini (sekolah) juga bisa, bayar juga sih. Nah, ngasih ke LSM nya ini yang lebih mahal,” kata MC, Senin (11/8).

MC mengatakan, LSM inilah yang membuat orang tuanya harus membayar dua kali selama proses PPDB. “Jadi total lima juta. Satu juta yang diminta dari sekolah buat sumbangan. Itu ada tanda tangan di atas materai juga. Terus ke LSM yang masukinnya itu aku ngasih 4 juta,” ungkapnya.

Peserta didik lain, PR (13), mengaku orang tuanya sudah menghabiskan dana hingga 25 juta rupiah untuk memasukkannya ke salah satu SMA negeri di Depok. “Jadi orang tua teman yang mau daftar juga dateng ke rumah nawarin temannya yang mau masukin. Dia bilang 20 juta, terus nanti pasti masuk tinggal ngurus sekolah doang,” kata PR, Senin (11/8).

“Pas udah namanya ada, tanggal 17 Juli, baru bayar 20 juta.  Ternyata pas masuk kelas balikin formulir diminta lagi 3 juta. Katanya buat bangunan atau apa nggak tau, pokoknya tambahan. Dan ternyata pas liat di map itu cuma 6 juta. Orangnya baru ngaku kalo dia butuh duit, makanya dinaikin sampe 20 juta. Jadi total 25 deh sama seragamnya,” ungkapnya.

Belakangan, orang tua PR baru mengetahui teman dari teman orang tua anaknya yang datang ke rumahnya tempo hari merupakan salah satu oknum LSM. PR pun diberi tahu bahwa ia menggunakan jatah kursi untuk LSM tersebut.

“Katanya setiap guru, orang dinas, LSM punya jatah bangku buat saudara atau anaknya. Aku make jatah bangkunya LSM untuk 4 orang. Daripada sayang makanya dikasih ke orang,” ujar PR.

Perantara seperti LSM inilah, menurut PR, yang membuat “harga” sebuah kursi di SMA Negeri menjadi lebih mahal. “Katanya ada yang 27 juta. Di kelas aku ada yang 20 juta juga,”  katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement