Senin 04 Aug 2014 13:00 WIB
tajuk

Menyikapi Pendatang

Red:

Lebaran berlalu, pendatang baru menunggu. Begitulah jamaknya di setiap usai Lebaran. Desa ditinggalkan warganya yang berbondong-bondong mencari kerja di perkotaan. Kawasan perkotaan pun menjadi sesak dengan adanya pendatang baru tersebut.

Tak ada masalah dengan kehadiran para pendatang. Tak ada pelarangan bagi warga yang bermukim di desa mencari penghidupan di perkotaan. Pun, tak ada pembatasan bagi seseorang untuk mewujudkan mimpi sukses dalam kehidupannya.

Semua warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak, memperoleh pendidikan yang setara, dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Di negara demokrasi seperti Indonesia, warganya dijamin untuk berpindah-pindah tempat maupun berusaha.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:AGUS BEBENG/ANTARA

Petugas Satpol PP mengarahkan pendatang yang baru tiba untuk diperiksa kelengkapan identitas pribadi di Terminal Cicaheum, Bandung, Jawa Barat, Minggu (3/8).

 

Yang kerap menjadi masalah, para pendatang baru di Ibu Kota itu kebanyakan tidak membekali diri dengan keahlian tertentu. Bukannya menjadi solusi bagi Ibu Kota, yang kerap terjadi mereka justru menjadi 'beban'. Kehadiran mereka di Ibu Kota yang tanpa pekerjaan pasti, tentu menjadi 'penyakit sosial'.

Kalau bekal mereka cukup untuk hidup tanpa pendapatan, tidak bermasalah. Tapi, bagaimana mereka bisa makan dan minum jika uang tak ada? Inilah kelompok yang kemudian biasanya menjadi persoalan bagi kota tujuan para pendatang. Mereka tidak selalu kemudian terjun ke dunia kriminal. Sebagian mereka memang bisa berhasil, tapi sebagian besar lainnya menjadi masalah sosial.

Selain terjun ke dunia kriminal, mereka yang jadi masalah sosial itu kemudian tinggal dengan kondisi yang  serbadarurat. Mereka mendirikan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai, pinggir rel kereta api, kolong jembatan, atau tinggal menggelandang di emperan toko dan sebagainya. Mereka menjadikan sebagian kawasan kota menjadi tidak layak huni.

Perlu penanganan khusus untuk mereka yang datang tanpa bekal kemampuan yang memadai. Pemerintah yang mengelola kota tujuan harus bersiap sedini mungkin untuk menjaga wilayah-wilayah yang potensial dijadikan tempat singgah mereka. Wilayah ini harus tetap dijaga supaya tidak sampai beralih fungsi menjadi permukiman kumuh yang ilegal.

Pendatang yang terbukti tidak memiliki kemampuan untuk mengadu nasib di kota, bisa diperlakukan dengan setidaknya dua langkah. Langkah pertama adalah mengembalikan mereka ke kampung halaman. Langkah ini memerlukan kerja sama pemerintah di wilayah tujuan pendatang dan pemerintah di wilayah asal pendatang. Meski bisa dijalankan, langkah ini tidak memberi nilai tambah apa pun bagi kemampuan para pendatang yang dikembalikan ke kampung halamannya.

Yang kedua, mereka bisa dimasukkan dalam pusat-pusat pelatihan untuk mendapatkan bekal keterampilan supaya siap memasuki dunia kerja atau berwirausaha. Bagaimanapun juga, mereka adalah sumber daya manusia yang bisa diberdayakan untuk bisa mendorong roda perekonomian bangsa. Keberadaannya tidak boleh dianggap sebagai musuh bagi siapa pun.

Program pelatihan ini bisa digelar bersama antara pemerintah di wilayah tujuan pendatang dan pemerintah asal para pendatang. Bisa juga, program ini dijalankan pemerintah pusat supaya cakupannya lebih luas. Kurikulum pelatihannya diarahkan langsung pada dunia kerja atau dunia usaha secara praktis. Hal ini bisa menjadi salah satu upaya untuk menyiapkan sumber daya manusia yang siap berkompetisi di era pasar bebas mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement