Senin 21 Jul 2014 16:00 WIB

Siap Menang dan Siap Kalah

Red:

Mendekati masa pengumuman hasil Pilpres 2014 tanggal 22 Juli, terasa cukup menegangkan. Berbagai isu negatif yang berseliweran di media sosial sedikit banyak membuat waswas. Masyarakat patut khawatir karena masing-masing kubu capres telah mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count sejumlah lembaga survei yang diyakininya.

Tidak ada kubu yang dengan legawa mengucapkan selamat pada rivalnya, atau sekadar menahan diri dari klaim kemenangan sepihak. Padahal, baik lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK maupun yang mengunggulkan Prabowo-Hatta selisih angkanya tidak terlalu jauh. Artinya, kedua buku sama-sama berpeluang menang dalam penghitungan real count KPU.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:tahta adilla/Republika

Indonesia Damai

Sikap kenegarawanan makin tidak tampak manakala tiap kubu menyatakan siap menggugat ke Mahkamah Konstitusi jika hasil real count KPU nanti tidak memenangkan jagoannya. Fenomena ini seolah membenarkan pandangan bahwa orang Indonesia belum memiliki budaya menerima kekalahan. Kebanyakan kita hanya siap menang tetapi belum siap kalah.

Fenomena protes-memprotes keputusan KPU sudah menjadi gejala umum dalam setiap pilkada, pileg, maupun pilpres. Tampaknya para politisi mengedepankan adagium yang mengatakan bahwa "tak ada kemenangan yang diraih dengan mudah" secara kreatif untuk berbagai kepentingan.

Menggugat hasil pilpres ke MK memang dibenarkan dalan konstitusi. UU Pemilu No 10 Tahun 2008 menjamin tindakan penolakan keputusan KPU. Hanya saja, langkah hukum semestinya ditempuh dalam rangka mengevaluasi kekurangan-kekurangan dalam sistem pelaksanaan pilpres sebagai bahan perbaikan bagi masa berikutnya. Karena itu, jangan sampai terjadi proses hukum sekadar lip service dan upaya memberikan tekanan politik kepada pasangan pemenang demi kepentingan bargaining atau power sharing semata.

 

Atribusi internal-eksternal

Dalam psikologi sosial, dikenal teori atribusi untuk melihat kecenderungan setiap orang menyikapi kemenangan dan kekalahan. Menurut teori ini, seseorang atau kelompok yang memperoleh kemenangan cenderung melakukan atribusi internal. Yaitu, upaya untuk merasionalisasi kemenangannya atas dasar kemampuan dan usaha yang dilakukannya. Orang yang menang, dinyatakan atau tidak, langsung atau tidak langsung, akan memberi pengakuan dirinya lebih baik dan lebih unggul ketimbang lawannya.

Sementara pihak yang kalah cenderung melihat kekalahannya melalui atribusi eksternal. Yaitu mencari-cari faktor eksternal yang dianggap memicu kekalahannya, misalnya karena sistem, situasi, kecurangan, dan sebagainya. Faktor eksternal ini bisa betul-betul terjadi, tetapi sangat mungkin juga sengaja diadakan untuk tidak membenarkan kekalahannya.

Kecenderungan seperti itulah yang tampak dalam ajang kompetisi politik di Indonesia. Jika dirunut, fenomena semacam ini dapat ditemukan korelasinya dalam budaya masyarakat. Kalah, dalam konstruksi budaya kita, dioposisi-binerkan dengan menang. Kalah dipersepsi sebagai suatu momok, memalukan, kerendahan, dan semacamnya. Sedangkan menang adalah kepuasan, tujuan akhir, puncak kejayaan, dan segala macam euforia. Konsekuensinya, semua orang berlomba meraih kemenangan dan tidak siap menerima kekalahan.

Dalam kaitan inilah kita perlu meredefinisi makna menang-kalah yang tidak bersifat dikotomis. Tetapi meletakkan keduanya dalam sebuah proses korelatif serta membingkainya dalam hubungan dialogis, bukan konflik. Karena menang dan kalah merupakan bagian dari esensi kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan berjalan silih berganti. Tidak ada kemenangan atau kekalahan yang abadi.

Kompetisi dalam memperebutkan kemenangan mestinya dimaknai sebagai persaingan untuk melakukan yang terbaik. Persis dengan seruan agama "berlomba-lombalah berbuat kebajikan." Dengan demikian, kemenangan tidak membutuhkan objek untuk dikalahkan. Meskipun tentu ada pihak yang dianggap lebih unggul dan lebih baik dari yang lain,tapi tidak menjadikan yang kalah diatribusi "jelek," "rendah," "tidak berbobot," dan atribut negatif lainnya. Karena baik yang menang maupun kalah telah sama-sama mengupayakan yang terbaik, bukan yang terjelek.

Kompetisi berbeda dengan konkurensi yang mempunyai arti: menundukkan, menjatuhkan, atau mengalahkan. Pencapaian dalam konkurensi bukan kemenangan tetapi penaklukan. Kerena itu konkurensi tidak memungkinkan upaya sinergi antara si penakluk dengan yang ditaklukkan.

Dengan demikian, budaya menerima kekalahan mesti disandingkan dengan budaya menerima kemenangan. Keduanya jangan sampai terpisah, berjalan sendiri-sendiri, apalagi sampai dioposisi-binerkan. Dengan begitu keduanya dapat berjalan sinergis, bekerja sama untuk terus mengupayakan yang terbaik. Inilah yang seyogiaya dikedepankan semua capres-cawapres dan timnya, baik yang menang atau kalah.

Kita berharap pada saat KPU mengeluarkan keputusan resmi hasil Pilpres 2014, semua kubu bersikap legawa; siap menang dan siap kalah. Bukankan indah jika saat pengumuman KPU kita melihat para politisi saling berjabat tangan mengucapkan selamat satu sama lain. Tidak salah kiranya para politisi itu belajar dari permainan olahraga yang menjunjung sikap sportivitas dan fair play. Lihatlah, ketika permainan usai, setiap pemain berjabat tangan, saling sapa dengan penuh keakraban, bahkan bertukar seragam tanda persahabatan.

Mohammad Affan

Pengajar, bekerja di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement