Jumat 18 Jul 2014 12:00 WIB

Kisah Naga dalam Gerak dan Nada

Red:

Dua orang pria mengenakan tiilanga, topi khas Pulau Rote, membungkuk kepada barisan penonton yang memenuhi teater mini Galeri Indonesia Kaya. Lengkap dengan sebuah selendang Tenun Buna khas Timor terpasang di pundak, keduanya mulai menari dengan gerakan serupa salsa.

Sepatu pantofelnya berdetuk di lantai seirama dengan tepuk tangan para penonton. "Yiiihaaaa," seru mereka serempak. Tak lama, dua orang wanita bergaun ungu dengan rok lebar masuk ke ruang pertunjukan. Mereka pun bergabung berpasangan dengan penari pria pertama. Mereka menari dengan lincahnya dalam membuka pertunjukan inti bertajuk "Legenda Pulau Komodo", sebuah drama musikal yang diusung oleh Institut Musik Daya Indonesia (IMDI).

Lepas tarian tadi, masuklah enam orang penari wanita dengan kostum tradisional khas Sumbawa. Masing-masing mengenakan hiasan mahkota larik di kepala mereka. Mirip seperti mahkota seorang putri raja, dibubuhi pernik manik-manik yang menjuntai keemasan. "Mahkota ini melambangkan kesuburan tanah Manggarai. Untaian manik adalah simbol padi yang menguning siap dipanen. Tanah kami kaya," ujar Dori, seorang pria asli Nusa Tenggara Timur yang menarasikan pertunjukan yang digelar pada awal pekan ini.

Penampilan pembuka selesai oleh penjelasan singkat dari Dori. Suara seorang wanita sekilas membacakan narasi latar belakang cerita. Kisahnya tentang sepasang suami-istri, hidup di sebuah desa kecil di dekat Pulau Rinca dan Pulau Padar yang sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka.

Panggung kembali diterangi oleh lampu sorot. Tampak seorang wanita hamil duduk di sebuah kursi rotan ditemani suaminya, keduanya tengah bercakap-cakap. Tak lama sang istri mengaduh kesakitan. Tangan kanannya memegangi perutnya yang hamil tua. "Ayah, sepertinya anak kita akan lahir," ucap sang istri.

Panik, sang suami lantas memanggil ibunya. Seorang wanita tua berambut putih seluruhnya memasuki panggung. Singkatnya si jabang bayi pun lahir. Tangisannya kencang. Bayi mereka sehat. Namun, sang istri masih terlihat kesusahan. Perutnya masih memberontak.

Tanpa susah payah, sang istri dengan ringan mendorong ‘anak kedua’ mereka untuk keluar. Namun, yang terjadi selanjutnya, baik sang suami maupun ibunya, terdiam. Tak ada tangisan bayi. Hening. "Anak kita satu lagi seekor kadal, Bu," kata sang suami lirih kepada istrinya. Kemudian, mereka menamai anak manusia mereka Gerong dan anak kadal mereka Ora.

Itulah awal mula kisah yang ditampilkan dalam pertunjukan yang digelar di Galeri Indonesia Kaya kali ini. Mengambil judul lengkap "Menyelami Nusa Tenggara Melalui Drama Musikal Legenda Pulau Komodo" pihak penyelenggara ingin menyuguhkan sebuah pembelajaran budaya daerah yang dikemas ringan dan menghibur.

"Kekayaan sastra Indonesia tidak hanya bisa dilihat dari banyaknya buku dan karya sastra yang beredar, tapi juga dari beragam cerita rakyat dan legenda di masyarakat Indonesia. Melalui musik dan lagu, kami kenalkan legenda Pulau Komodo ini untuk bisa dinikmati segala usia," ujar Renitasari Adrian, program director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Pertunjukan ini mengisahkan awal mula kedekatan kawanan komodo dengan penduduk Pulau Komodo yang selama ini berada dalam satu habitat. Konon, seperti dikisahkan di awal tulisan, ada anak kembar berwujud manusia dan kadal raksasa yang hidup berdampingan. Mereka akrab satu sama lain.

Dari sinilah kemudian masyarakat setempat mulai akrab dengan hewan yang gigitannya dikenal mematikan itu. Hingga kini, masyarakat Pulau Komodo hidup berdampingan tanpa konflik dengan penghuni asli pulau itu, kadal raksasa yang dikenal sebaga dinosaurus masa kini: kadal komodo.

Selain menampilkan pertunjukan seni peran yang memukau para pemain juga memamerkan kemampuan olah vokal mereka. Sejumlah lagu yang berasal dari Nusa Tenggara turut dinyanyikan, seperti "Ayam Hitam", "Potong Bebek Angsa", dan beberapa karya asli yang khusus diciptakan untuk pertunjukan drama musikal "Legenda Pulau Komodo" ini.

Pada pengujung pertunjukan, Prof Cut Njak Deviana Daudsjah selaku pendiri IMDI sempat mengutarakan tujuan dari pementasan ini kepada Republika. "Tujuan kami untuk mengembalikan minat masyarakat akan seni. Mengembangkan eksistensi seni pertunjukan, khususnya musik. Menawarkan pemerintah, sektor nonformal jangan diabaikan," katanya yang dalam pertunjukan itu sebagai pemain piano.

Menurutnya, sektor informal, seperti seni dan budaya, sangat berpotensi mendatangkan keuntungan bagi Indonesia bila pemerintah memberikan porsi perhatian dan dukungan yang besar.

Pertunjukan drama musikal ini ditutup dengan sebuah aksi menyanyi bersama. Anak-anak yang ikut menonton turut bersorak riang. "Potong bebek angsa, angsa di kuali. Nona minta dansa, dansa empat kali. Serong ke kiri, serong ke kanan, lalalalala." rep:c85 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement