Rabu 16 Jul 2014 13:00 WIB
nasional

Penetapan Status Konflik oleh Bupati tidak Sesuai Konstitusi

Red:

JAKARTA -- Penetapan status konflik skala kabupaten/kota oleh bupati tidak sesuai UUD 1945. Pengamat Tata Negara Irman Putrasidin mengatakan, penetapan keadaan bahaya, di antaranya, status keadaan konflik, tidak dapat didelegasikan.

Menurut Irman, jika Polri tidak mampu mengendalikan konflik dan memberikan jaminan keamanan serta ketertiban di tingkat kab/kota maka penetapan status konflik bukan didelegasikan kepada bupati atau wali kota. Sebab, solusi itu membebankan status konflik pada bupati dan wali kota.

Irman menjelaskan, tanggung jawab konstitusional akan keamanan dan ketertiban tertinggi bukan pada bupati, melainkan presiden. "Presiden yang kembali mengambil alih tanggung jawab atas konflik tersebut dengan otoritas konstitusional yang dilekatkan UUD 1945 kepadanya," kata dia ketika bersaksi di Mahkamah Konstitusi, Selasa (15/7).

Menurutnya, dengan menyandarkan kekuasaan pada Presiden maka TNI bisa dikerahkan secara mudah untuk membantu Polri melakukan penanggulangan konflik. Dengan penetapan status keadaan konflik oleh presiden, konstruksi yang terbangun bukan kepala daerah meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada pemerintah.

Kemarin, MK menggelar sidang kelima pengujian materi pasal 16 dan 26 UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) terhadap UUD 1945. Agenda sidang, yaitu mendengarkan keterangan ahli/saksi dari pemohon. Selain Irman, majelis hakim yang dipimpin Hamdan Zoelva juga mendengarkan keterangan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego.

Indria menerangkan, konflik sosial antardaerah mayoritas adalah konflik yang dipicu pemilihan kepala daerah (pilkada). Apabila bupati diberikan kewenangan, penyelesaiannya akan represif. "Itu berbeda dengan semangat reformasi yang seharusnya menekankan pada resolusi dan manajemen konflik dengan prinsip dialog," kata dua.

Pengujian ini diajukan pemohon dari Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Juga, Dosen Universitas Pertahanan Indonesia Choirul Anam dan Direktur Program Ridep Institute Anton Aliabbas.

Pemohon berpendapat konstitusi mengatur status keadaan darurat hanya dapat ditetapkan Presiden. Sebab, status konflik sosial memiliki kualifikasi yang sama dengan status keadaan darurat atau bahaya menurut ketentuan UUD 1945. n c75/antara ed: ratna puspita

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement