Senin 14 Jul 2014 12:00 WIB

Prospek Koalisi di Pemerintahan

Red:

Perkembangan politik menjelang dan pada pascapilpres menunjukkan berbagai kondisi yang amat menarik. Salah satunya adalah potensi munculnya sebuah karakter koalisi partai-partai yang cukup berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kondisi koalisi pada masa-masa sebelumnya. Pada masa sebelumnya, koalisi tampak begitu cair dan hadir sebagai sebuah formalitas belaka. Namun kali ini, koalisi berpotensi besar untuk lebih solid.

Meski masih bersifat prakiraan, tulisan ini akan mengungkap latar belakang atas kemungkinan menguatnya soliditas koalisi pada masa yang akan datang. Selain itu, di sini juga diberikan semacam gambaran akan prospek pemerintahan yang akan datang ditinjau dari kualitas koalisi dan pola hubungan eksekutif dan legislatif kelak. 

Banyak kalangan yang berkeyakinan bahwa koalisi yang solid hanya akan mungkin terjadi jika pelaksanaan pileg dan pilpres berlangsung serentak atau didahului oleh pilpres. Asumsinya adalah koalisi pendukung presiden yang terbentuk dilandasi oleh sebuah ikatan komitmen yang jauh lebih tulus. Artinya partai bergabung karena sebuah idealisme dan bukan karena jumlah kursi yang dimiliki.

Namun demikian, situasi politik yang terjadi saat ini bisa jadi menyanggah asumsi di atas. Pertarungan pemilihan presiden yang demikian keras berpotensi besar menjadi pintu masuk bagi penguatan koalisi meski terbentuk pascapileg. Sengitnya pertarungan pilpres saat ini mendorong setiap partai anggota koalisi untuk melakukan kerja sama yang demikian erat.

Pertarungan pilpres yang keras juga telah memunculkan semacam garis batas yang cukup tebal antara "kami" dan "mereka" pada masing-masing kubu koalisi. Masing-masing koalisi tak pelak tidak saja berupaya meninggikan citra kandidat dan kelompoknya, namun juga melemahkan citra kandidat dan kelompok saingan.

Sengitnya pertarungan yang dirasakan oleh masyarakat cukup menegaskan bahwa masing-masing koalisi memiliki perbedaan-perbedaan yang kental. Dari masa-masa kampanye, termasuk debat capres dan cawapres, terlihat dengan jelas bahwa tidak saja terdapat beberapa agenda politik yang tidak sejalan, namun pula strategi pemenangan yang kerap bersifat ofensif.

Secara individual, setiap partai politik pada masing-masing kubu akhirnya memiliki kontribusi signifikan dalam membela eksistensi koalisi sekaligus menurunkan citra pihak saingan. Terkait dengan itu, bahkan ada partai yang mengharamkan masuknya partai-partai tertentu ke dalam koalisinya, terutama disebabkan karena alasan ideologis, historis, ataupun strategis.

Tempaan yang demikian keras telah menyebabkan partai-partai mengeluarkan energi atau "biaya ekstra" yang tentu saja tidak mudah dihapus begitu saja. Lepas dari itu, tempaan keras menjelang dan pascapilpres tetap berpotensi kuat menjadi perekat yang memunculkan potensi menguatnya soliditas koalisi. Soliditas semacam ini mulai terlihat bahkan sebelum pilpres dilakukan, yakni dengan dideklarasikannya "koalisi permanen" di parlemen, pascadiloloskannya UU tentang MD3, yang disambut dengan walk out-nya partai-partai dari koalisi saingan.

Dengan potensi koalisi yang solid itu peluang munculnya deadlock antara legislatif dan presiden diasumsikan juga terbuka lebar. Hal ini terutama jika presiden terpilih berasal dari koalisi minoritas parlemen. Manakala ada agenda politik atau usulan kebijakan antara presiden dan DPR yang secara substansi jauh berbeda, muncul kemudian situasi saling sandra di antara dua lembaga ini.

Dari hitung-hitungan suara di parlemen, "koalisi permanen" yang telah terbentuk-terdiri dari enam fraksi, yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS dan PPP-memiliki kekuatan 353 kursi atau sekitar 63 persen dari total kursi. Kekuatan kelompok ini telah menunjukkan tajinya dengan keberhasilan menghalangi PDIP, partai pemenang Pemilu 2014, untuk otomatis menduduki kursi ketua DPR.

Situasi jelas akan lebih kondusif jika presiden terpilih berasal dari koalisi mayoritas parlemen. Presiden akan relatif selalu akan mendapat dukungan yang kuat dari parlemen dalam menjalankan agenda politik dan berbagai kebijakan. Bahayanya adalah peluang terjadinya oligarki dan politik kartel mengemuka.

Di sisi lain, pemerintahan oleh presiden minoritas pun sebenarnya tidak serta-merta berdampak memunculkan deadlock. Banyak kasus kekinian, sebagaimana yang terlihat dari penelitian Cheibub (2007) menunjukkan bahwa presiden dari koalisi minoritas dapat berjalan sampai pada akhir masa jabatannya dengan baik.

Dengan kata lain, pelbagai kemungkinan positif tetap ada meski presiden berasal dari kalangan minoritas maupun mayoritas. Soliditas koalisi pun sejatinya tidak serta-merta dapat menciptakan sebuah pemerintahan yang baik atau kondisi yang seluruhnya buruk.

Lepas dari itu, koalisi yang solid tentu saja merupakan sebuah kabar baik yang akan membuat sebuah pemerintahan ataupun opisisi memiliki karakter yang kuat. Namun, hal itu akan menjadi sia-sia dan bahkan petaka jika tidak dibarengi oleh semangat untuk melayani seluruh rakyat Indonesia, terlepas dari afiliasi politik yang dimilikinya.

Firman Noor

Peneliti Politik LIPI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement