Senin 14 Jul 2014 12:00 WIB

Peci Lambang Pergerakan

Red:

Oleh:Selamat Ginting -- Salah satu aktivis pergerakan yang sangat memperhatikan penampilan, terutama soal berpakaian adalah Soekarno. Pada era 1920-an itu, ia merupakan salah satu yang mempunyai ciri khas dalam berpakaian. Kelak, gaya berbusananya diikuti oleh kalangan pergerakan lainnya.

 

Saat memasuki sekolah teknik di Bandung, kini disebut ITB, Soekarno muda mulai menggunakan kemeja putih, pantalon, dan berdasi. Ia bersama Gatot Mangkoepradja, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Syahrir, dan Amir Syarifuddin merupakan generasi awal yang sudah mengenakan pakaian jas, celana panjang, sepatu, dan dasi.

 

"Itulah kenecisan Indonesia atau Indonesia dandy," kata Rudolf Mrázek, guru besar sejarah di University of Michigan, seperti ditulis oleh Timur Subangun dalam berdikarionline.com.

 

Pada Kongres Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1928, Soekarno menganjurkan kepada partainya untuk mengenakan pakaian seragam (uniform). Usul tersebut menjadi polemik peserta kongres, di antaranya yang menolak adalah Ali Sastroamidjojo.

 

Ali berpendapat,  seharusnya bangsa Indonesia tidak berpakaian seragam seperti orang Eropa karena bertentangan dengan kepribadian nasional. Bahkan, ia menganjurkan bangsa Indonesia menggunakan seragam tanpa sepatu dan sandal sehingga tampak revolusioner di mata rakyat.

 

"Aku tidak setuju … banyak orang yang kaki ayam, akan tetapi mereka bukan orang yang revolusioner. Banyak orang yang berpangkat tinggi memakai sarung, tapi mereka bekerja dengan sepenuh hati untuk kolonialis. Yang menandakan seseorang itu revolusioner adalah bakti yang telah ditunaikannya dalam perjuangan," jawab Soekarno dengan sengit.

 

Argumentasi Soekarno tidak bisa diterima dalam kongres itu. Peserta lebih memilih argumentasi yang diucapkan Ali Sastroamidjojo. Walaupun kalah, Soekarno dan sebagian besar tokoh pergerakan tetap menggunakan celana panjang, jas, kemeja putih, sepatu, dan dasi.  Belakangan, Ali dan tokoh pergerakan lainnya justru mengikuti kebiasaan Soekarno.

 

Bahkan, karena menggunakan dasi, Soekarno pernah bersitegang dengan seorang penghulu (kadi). Celakanya, hal itu terjadi saat akan menikahi Oetari, putri HOS Tjokroaminoto.

 

Si penghulu menolak menikahkan Soekarno, karena menganggap dasi itu sebagai pakaian Kristen. Soekarno tetap ngotot. "Dalam hal ini, tak ada yang sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi," demikian kata Soekarno. Akhirnya, Tjokroaminoto menengahi perdebatan itu dan pernikahan tetap dilangsungkan. Soekarno pun tetap dengan dasi yang menghiasi kemejanya.

 

Adapun soal kopiah, Soekarno menganjurkan kepada partainya untuk memakainya sebagai identitas pergerakan nasional. Soekarno mengikuti penggunaan kopiah dari pemimpin Sarekat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto, orang yang dianggap guru dan tokoh idolanya serta Tjipto Mangunkusumo.

 

Sebelumnya, dalam rapat Jong Java di Surabaya, Juni 1921, Soekarno memasuki ruangan dengan menggunakan kopiah. Awalnya dia ragu, tetapi akhirnya memutuskan untuk tetap menggunakan kopiah hitam.

 

Di situ dia mendapatkan perhatian dari peserta rapat. Kaum intelektual masa itu membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.

 

Soekarno memecah kesunyian dengan berbicara: "… Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia merdeka." Pengakuan itu tertuang dalam memoar, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.

Soekarno mengombinasikan peci hitam dengan jas dan dasi untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah).

Sejak itu, Soekarno hampir selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik. Seperti yang dia lakukan saat membacakan pledoinya, "Indonesia Menggugat", di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. Peci kemudian menjadi simbol nasionalisme yang memengaruhi cara berpakaian kalangan intelektual, termasuk pemuda Kristen.

Karena itulah, George Quinn dalam The Learner’s Dictionary of Today’s Indonesia mendefinisikan peci dengan mengambil contoh Soekarno. "Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Soekarno duduk di pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam)."

Namun, sebenarnya Soekarno bukanlah intelektual yang pertama kali menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga politikus yang menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara.

Ketiganya menunjukkan identitas masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki.

Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam, sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala. Di situlah Soekarno mengikuti jejak gurunya, lebih memilih peci beludru hitam.

Pengaruh Soekarno begitu luas. Pada pertengahan 1932, Partindo melancarkan kampanye yang diilhami gerakan swadesi di India, dengan menyerukan agar rakyat hanya memakai barang-barang buatan Indonesia. Orang-orang mengenakan pakaian dari bahan hasil tenunan tangan sendiri yang disebut lurik, terutama untuk peci—sebagai pengganti fez—yang dikenakan umat Muslim di Indonesia.

Peci lurik ini mulai terlihat dipakai terutama dalam rapat-rapat Partindo. "Tapi Bung Karno tak pernah memakainya. Dia tetap memakai peci beludru hitam, yang bahannya berasal dari pabrik di Italia," tulis Molly Bondan dalam Spanning A Revolution.

Peci sesungguhnya juga sudah dikenal di Giri, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, dia kembali ke Ternate dengan membawa kopiah atau peci sebagai buah tangan.

"Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh," tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III.

Dalam suasana pergerakan, kopiah memiliki fungsi tambahan. Selain sebagai penutup kepala, juga alat untuk mengumpulkan sumbangan di tengah-tengah rapat akbar. Begitu kentalnya kopiah atau peci sebagai simbol pergerakan nasional sehingga pernah penguasa Belanda memerintahkan untuk menangkap semua yang memakai peci atau kopiah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement