Menjadi dokter di daerah terpencil dan rawan konflik merupakan tantangan tersendiri bagi dokter-dokter pegawai tidak tetap (PTT) yang ada di Pegunungan Tengah, Papua. Dr Mukri Nasution adalah salah satunya. Meski begitu, Ketua Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) cabang Wamena ini menikmati kekhusyukan Ramadhan di kota yang terletak persis di Lembah Baliem itu.
"Bisa belajar hidup berdampingan dengan masyarakat (Papua) yang mayoritas non-Muslim." kata Mukri saat dihubungi Republika, Jumat (11/7). Kota Wamena juga menjadi pusat kegiatan kaum Muslim yang ada di Papua. Ketika Ramadhan, banyak kaum Muslim dari perkampungan-perkampungan Muslim, seperti Araboda datang ke Wamena untuk beribadah bersama untuk mencari masjid. Di Wamena, sudah ada tiga masjid besar yang berdiri di pusat kota.
Di samping warga permanen, para pendatang yang umumnya berasal dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga meramaikan Ramadhan. Mereka biasanya mengadakan buka bersama di perkampungan Muslim bersama warga sekitar.
Mencari makanan halal untuk berbuka puasa juga bukan hal sulit di sana. Menurutnya, sudah banyak pendatang menghuni Wamena. Mereka umumnya Muslim yang membutuhkan makanan halal. Maka, jangan heran jika ada restoran masakan padang, sunda, hingga pecel lele ada di sini.
Mukri mengatakan, ada sekitar tujuh perkampungan Muslim yang tersebar di Lembah Baliem. Semuanya berada di bawah pembinaan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketika ada acara tertentu, biasanya mereka berkumpul di Wamena. Malam takbiran di kota ini pun cenderung ramai, bahkan umat Muslim biasanya mengadakan konvoi keliling kota.
Menurut Mukri, toleransi umat Nasrani di Wamena terhadap keberadaan Muslim cukup tinggi. Walaupun begitu, masalah keamanan terkadang masih menjadi hambatan dalam beribadah. Ini karena Wamena adalah daerah konflik. "Ini sekarang kan masih siaga 1. Jadi, kadang agak takut kalau mau keluar malam untuk shalat Tarawih."
Di tengah suhu politik yang sedang memanas seperti sekarang, sering terjadi penembakan pada malam hari. Menjelang pemilihan presiden (pilpres) kemarin, misalnya, ada peristiwa pelemparan bom molotov di Wamena. Ada pula peristiwa terbakarnya rumah ketua MUI Wamena yang diduga sengaja dibakar. "Tapi, motifnya kita tidak tahu." kata Mukri.
Tahun-tahun pertama bekerja di Papua, Mukri ditempatkan di Kabupaten Yahukimo. Wilayah ini sangat terpencil, sehingga tidak ada listrik dan sinyal. Dia ditempatkan bersama beberapa Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mukri sendiri mengabdikan dirinya di sebuah puskesmas kecil selama bertugas di sana.
Di Yahukimo, Mukri merasakan toleransi warga mengikuti upacara adat. Tradisi bakar batu untuk menyambut tamu tersebut menggunakan daging babi sebagai menu utama. Ketika acara itu digelar, batu dipakar hingga panas. Kemudian, batu panas itu diletakkan di dalam lubang untuk memasak sayur, ubi, dan daging babi. Setelah itu, lubang tersebut ditutup.
"Sistemnya sama seperti oven. Jadi, panas dari batu itu yang digunakan untuk memasak." kata Mukri. Hanya, warga asli tidak memaksa saat Mukri mengaku sebagai Muslim. Warga pun mengerti dan memberikan makanan lain yang halal baginya.
Setahun kemudian, dokter asli Medan ini pun pindah bertugas di Wamena. Selama bertugas di RSUD Wamena, Mukri menemui berbagai penyakit, seperti HIV/AIDS dan Tuberculosis (TBC) yang lazim diderita warga sekitar. Kedua masalah ini timbul dari tradisi masyarakat yang sudah mengakar.
"Kalau di daerah pegunungan tengah ini masalah utamanya HIV/AIDS karena hubungan seksual di luar nikah. Karena kan memang budayanya agak bebas." katanya. Menurut Mukri, pemerintah dan berbagai LSM telah menyediakan banyak program untuk mengatasi masalah ini. Namun, mengubah kebiasaan masyarakat adalah hal yang sulit karena sudah menjadi tradisi sejak dulu. rep:c92 ed: a syalaby ichsan