Kamis 10 Jul 2014 13:44 WIB

Perayaan Kemenangan Capres Berpotensi Timbulkan Konflik

Rep: c75/ Red: Muhammad Hafil
Prabowo Subianto mendapat sambutan dari pendukungnya usai menghadiri acara di Menara Bidakara, Jakarta, Rabu (9/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Pengamat Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Gandung Ismanto menyayangkan kedua pasangan capres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK tidak mampu menahan diri untuk menunda perayaaan kemenangan dalam pilpres 2014 berdasarkan hasil hitung cepat. Karena, hal itu berpotensi menimbulkan konflik di tingkat masyarakat (akar rumput).

"Sangat disayangkan kedua pasangan capres tidak mampu menahan diri untuk menunda perayaan kemenangan," ujar Pengamat Politik Untirta,  Gandung Ismanto kepada Republika, Kamis (10/7).

Menurutnya, dilapangan kapasitas masyarakat awam yang tidak begitu memahami hasil survei hitung cepat tidak cukup memadai sehingga klaim yang dilakukan sampai perayaan kemenangan begitu dipercaya. "Potensi ketegangan di masyarakat begitu nyata," katanya. 

Ia mengatakan seharusnya mereka (capres-cawapres) memberikan contoh kepada masyarakat bahwa mempercayai hasil survei boleh saja akan tetapi harus memberikan pemahaman yang utuh bahwa hasil hitung cepat terbuka pada kesalahan. 

"Fakta munculnya perbedaan signifikan hasil yang bisa mengubah hasil form C1 di daerah memicu konflik yang tinggi," tegasnya. 

Gandung mengatakan hal itu bukan pembelajaran politik yang baik karena tidak menciptakan iklim yang kondusif di masyarakat. Apalagi dalam pilpres saat ini tercipta polarisasi serta dikotomis pilihan di masyarakat sehingga menyertakan ikatan emosional masyarakat. Dimana yang lebih kuat yang dipilih. 

"Kalau ikatan emosional lebih kuat dari rasional maka konflik itu tinggal menunggu waktu ketika pemicunya hadir ditengah mereka. Pemicunya keyakinan menang yang memiliki potensi berubah sampai 22 Juli," katanya.

Ia mencontohkan di Banten timses Prabowo-Hatta mengklaim memenangkan suara 57 persen. "Walaupun diakui Prabowo menang, tapi hasil 57 persen ditolak masyarakat. 

Menurutnya, bisa dibayangkan jika  terjadi perubahan hasil suara tanggal 22 nanti maka akan muncul spekulasi di masyarakat terjadi kecurangan pemilu. 

Ia melihat inisiatif yang dilakukan presiden yang mengajak pasangan calon harus menjadi komitmen kuat untuk ditindaklanjuti dengan memberikan penyadaran tentang kedudukan hitung cepat dalam pilpres di daerah.

"Diberikan pemahaman hasil hitung cepat bisa salah. Kemungkinan salah paling bisa menekan tensi diakar rumput," tegasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement