Ahad 06 Jul 2014 15:30 WIB

Menyusuri Pecinan Siak

Red: operator

Tempat ini mengingatkan settinglokasi film Jet Lee dan Rosamund Kwan dalam film legendarisnya Once Upon a Time in China (1991). Kota Siak memiliki satu warna khas pecinan di salah satu sudut kotanya. Pecinan kota Siak ber ada di Jalan Tubagus Ismail, tak jauh dari Istana Siak.

Suasana Tionghoa yang kental, mulai dari pemukim hingga arsitektur bangunannya. Deretan kios para pedagang menjaga bentuk utuh sejak pertama kali permukiman ini dibangun pada penghujung abad ke-19. Tempat usaha sekaligus tempat tinggal, seperti kebanyakan pecinan di banyak kota di Indonesia.

Namun, perpaduan gaya arsitektur Melayu dan Tionghoa, menjadi pemandangan yang paling khas ditemui di sudut kota ini. Belum lagi, kedai-kedai kopi khas Tionghoa yang menjamur di sebentang jalan sepanjang 500 meter.

Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan memang berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Indrapura.

Lum bung ekonomi Siak tak terelakkan lahir dari pecinan yang memang berdampingan dengan Sungai Siak. Satu yang kini masih dapat ditengok, adalah sisa aktivitas perdagangan pecinan.

Konon Pecinan Siak lahir berba rengan dengan keberadaan Istana Siak yang dibangun pada 1880-an. Berda sar kan cerita turun-temurun warga sekitar, pembangunan Istana Siak juga memberdayakan ratusan pemukim Tionghoa di daerah ini. Pecinan Siak membuktikan keberadaannya sebagai permukiman tertua dengan hadirnya Kelenteng Hok Siu Kiong yang konon telah berusia lebih dari 200 tahun.

Kedai-kedai kopi

Satu hal yang wajib dilakukan di pecinan Siak adalah mencicipi kopi khasnya. Bukan soal rasa, tapi suasana yang dibangun di tiap kedai kopinya.

Menginspirasi dari nilai-nilai khas negara asalnya, kedai kopi di Pecinan Siak rata-rata dibuat dalam ruangan yang luas dengan jarak bangku yang dibuat jarang-jarang. Ornamen-ornamen khas Cina, tentu mempermanis ruangannya.

"Dari dulu kita orang kecil dan besar di sini, leluhur kami memang pedagang," ujar Lau Wi Chie (40 tahun), salah satu pengusaha kedai kopi di Pecinan Siak.

Lau Wi Chie yang akrab disapa Acie itu pengusaha kedai kopi yang usaha nya diwarisi oleh sang ayah, La Yong Hwa sejak tahun 1970. Pecinan Siak, ujarnya, merupakan tempat ia lahir, besar, dan melanjutkan hidup. "Tapi seta hun ini wilayah ini akan digusur," ujarnya.

Pecinan Siak di Jalan Tubagus Ismail memang telah menjadi satu wilayah yang akan dijadikan proyek pemerintah dalam pembangunan turap di sepanjang tepian Sungai Siak. Proyek yang akan berlangsung pada 2015 itu sebelumnya mendapat kritik dari para pemerhati sejarah dan pemukim setempat. Sebab, bagaimanapun juga pecinan Siak merupakan bagian dari sejarah panjang perjalanan Kota Siak, dan elemen penting keberadaan Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Secantik Kain Tenun Siak

Terdengar bunyi hentakan kayu. Perempuan muda duduk tegak di balik alat tenun bukan mesinnya. Trakk ...

!! Trakk ...!! street ttraakk, bunyi irama melantun dari ayunan tangan sang penenun kain tenun siak. Mengikuti motif di selembar kertas yang sudah dipesan sang majikan, perempuan muda berkonsentrasi penuh menjangkau tiap sudut di antara benang yang begitu tipis. Benang emas diselipkannya di benang lainnya, menjadi satu motif kecil yang padu. Sekali lagi trakk ... street trakk.

Kain tenun siak menjadi primado nan cantik yang wajib dibawa pulang saat berkunjung ke Kabupaten Siak. Tenun siak adalah kain tenunan yang dibuat dengan gabungan benang katun atau benang sutra yang diberi motif benang emas dengan berbagai motif.

Kain tenun siak beragam motif, seperti yang diperkenalkan Puguh Sutrisno, salah satu pengusaha tenun Siak di rumah usahanya, Jalan Indragiri, Kampung Rampak. Usaha yang digelutinya merupakan wari san sang mertua, Rahimna yang telah merintis usaha tenun siak sejak 1980. "Ada motif pucuk rebung, siku keluang, tampuk manggis, dan belasan motif lainnya khas Siak," ujarnya.

Puguh tak sekadar peng usaha. Ketertarikannya terhadap tenun siak telah membuatnya menyelam jauh ke dalam sejarah tenun siak. Peng usaha yang telah menulis satu buku Seluk Beluk Tenun Siak itu melihat sebuah makna mendalam. Menurut dia, tenun siak adalah sebuah pengabdian, penghormatan, dan sebuah harga diri masyarakat Melayu.

Warisan Kerajaan Siak Indrapura Tenun Siak, diceritakan Puguh, merupakan hasil warisan yang paling membanggakan yang telah diwariskan Kerajaan Siak Indrapura. Tradisi menenun, ujarnya, telah ada sejak 1800, saat kerajaan Siak dipimpin Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyai dis Syarif Ali Abdul Jalil (1784-1810).

Saat itu, Sultan membawa langsung seorang penenun andal milik Kerajaan Trengganu Malaysia, bernama Encik Siti Binti Karim. Dari perempuan itulah, para keluarga kerajaan diajarkan untuk menenun kain. "Hanya terbatas sebagai pakaian kerajaan," ujar Puguh.

Belum ada yang tahu pasti mengapa kemudian tradisi menenun merayap keluar dari tembok kerajaan. Namun yang pasti, masyarakat sekitar kerajaan kemudian mulai mahir membuat tenunan serupa.

Tenun siak dianggap sebagai perlambang kemapanan ekonomi masyarakat.

Corak dan motif tenun siak, kata Puguh, tidak terlepas dari sentuhan Me layu dan Islam. Misalnya saja motif pasu-pasu. Motif itu menggambarkan suasana kental rasa persaudaraan beragama. Namun, dewasa ini motif tradisional banyak dikreasikan dengan bentuk flora dan fauna lainnya.

Permintaan tenun siak datang dari ber bagai wilayah, mulai dari Sumatra hingga Pulau Jawa. Rata-rata per bulan Puguh bisa menerima pesanan 50-70 helai. "Satu kain bisa dikerjakan dua-tiga minggu," jelasnya. Harga jual pun beragam, mulai dari Rp 700 ribu, hingga Rp 5 juta.

Ceceran Sejarah Kolonialis Belanda

Kerajaan Siak Sri Indrapura tak selamanya memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi.

Memasuki era kolonialisasi Belanda, satu persatu kedaulatan Siak Sri Indrapura mulai terkikis.

Periode penurunan itu berlangsung pada pertengahan abad ke-19, terlebih saat masuknya Inggris yang turut mengincar melimpahnya kekayaan alam Siak.

Era kelam Siak memasuki babak utama pada 1858 saat Kesultanan Siak dipaksa menandatangani perjanjian yang menyatakan wilayahnya masuk dalam perlindungan Belanda. Pada penghujung abad ke-19, Siak pun pernah menyandang status setingkat kawedanan setelah sebelumnya pada 1873 Kesultanan Siak menyerahkan Bengkalis untuk masuk dalam Karesidenan Riau.

Berikut beberapa sisa kolonialisme Belanda di Siak:

POS DAN TANGSI MILITER

Berada di Desa Benteng Hilir, Kecamatan Mempura, tepian Sungai Siak. Merupakan bekas markas militer Belanda yang dibangun pada 1908. Selain sebagai markas tentara dan logistik perang, bangunan ini juga difungsikan sebagai rumah tahanan pribumi yang dianggap melakukan pemberontakan.

LANDRAAD

Berada di Desa Benteng Hulu, 200 meter dari keberadaan markas militer Belanda. Dikenal dengan nama gedung landraad yang pada awal abad ke20 digunakan sebagai gedung peradilan Belanda.

Sejak pengakuan wilayah atas Hindia Belanda, tiaptiap keputusan Kerapatan Tinggi kerajaan harus melalui persetujuan pemerintah Hindia Belanda.

Tak jauh dari gedung yang kondisinya mangkrak tersebut, juga masih terdapat sebuah bangunan bekas controleur(pembesar Belanda). Dalam sistem peradilan era Hindia Belanda, controleur mendapat tugas dari pemerintah sebagai penasihat kerajaan.

Jangan Lewatkan

Menikmati sore di Jalan Inderagiri, Siak. Tempat kuliner malam yang menjadi favorit mudamudi kota Siak. Berada di ruang terbuka, pusat kuliner ini berada di tepi Sungai Siak. Pengunjung juga dapat menikmati keindahan malam. kelapkelip lampu kapal pengangkut kayu di sungai.

MISO SIAK

Miso merupakan kuliner nikmat dari Siak yang memadukan kuah kuning mirip soto, dengan isi berupa mi kuning, tahu, ayam suwir, dan sedikit pelengkap berupa ceker ayam. Rasanya yang gurih akan semakin dahsyat jika divariasikan dengan bumbu pedas dari ulekan sambal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement