Jumat 04 Jul 2014 12:00 WIB
tasawuf

Puasa Bicara al-Sukut wa al-Shumt

Red:

oleh:Prof Dr Nasaruddin Umar -- Salah satu ciri puasa khawas al-khawash (sangat khusus) ialah berpuasa bicara, yang di dalam bahasa tasawuf disebut al-Sukut dan al-Shumt. Dalam kamus bahasa Arab dua kata tersebut bermakna sama.

Namun yang digunakan di dalam Alquran, yaitu al-sukut, seperti dalam ayat, "Sesudah amarah Musa menjadi reda (sakata), lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. (QS al-Anfal [7]: 154).

Kata al-shumt digunakan di dalam hadis dan kata-kata hikmah, seperti Man shamata naja (barang siapa yang diam maka akan aman) dan Al-shumt hukmun (Diam itu hikmah).

Istilah lain yang digunakan di Alquran dalam kaitannya dengan puasa, yaitu lan yukallim al-yaum insiyya (tidak berbicara dengan manusia), seperti dikatakan dalam Alquran, "Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini’." (QS Maryam [19]: 26).

Dalam ayat lain diistilahkan dengan la tukallim al-nas, seperti dalam ayat, "Zakaria berkata, ‘Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.’ Tuhan berfirman, ‘Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat’." (QS Maryam [19]: 10).

Beberapa istilah lain juga digunakan di dalam hadis, seperti Man ‘arafa Allah kalla linanuh (Barang siapa yang memahami Allah maka kelu lidahnya), maksudnya amat membatasi diri bicara kepada orang lain dan ia lebih banyak berbicara atau berkomunikasi kepada Tuhannya.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Barang siapa banyak bicara maka akan bertambah banyak kesalahannya, orang yang banyak kesalahannya rasa malu dan harga dirinya (wara) sedikit, dan barang siapa yang sedikit wara-nya maka akan masuk neraka."

Apa pun istilahnya, intinya berpuasa atau menahan diri untuk tidak banyak berkata atau tidak berbicara dengan orang lain, termasuk di sini tidak berkomunikasi visual atau online dengan menggunakan alat komunikasi modern, seperti e-mail atau SMS.

Membatasi diri bicara hanya untuk hal-hal yang sangat penting saja saat seseorang berpuasa maka inilah yang dimaksud salah satu dari puasa khawash al-khawash. Semakin sedikit berbicara semakin berpeluang ia meraih martabat puasa khawash al-khawash.

Puasa bicara sering menjadi wacana orang-orang dekat Tuhan (Khalil Allah). Sedangkan, wacana puasanya orang awam masih berkutat pada makan, minum, dan berhubungan suami istri, atau mungkin sedikit meningkat ke wacana puasa pancaindra, baik laihir maupun batin.

Lihatlah, misalnya nazar Nabi Zakaria, ia bernazar untuk berpuasa bicara dengan manusia selama tiga hari. Mengapa hanya tiga hari? Ini isyarat bahwa kita lebih gampang bicara ketimbang tidak bicara. Kita lebih sulit untuk diam daripada bicara. Mungkin lebih sulit berpuasa bicara tiga hari daripada berpuasa untuk makan-minum selama sebulan.

Bayangkan, jika selama puasa Ramadhan 30 hari, selain kita gunakan berpuasa tidak makan, minum, dan berhubungan suami-istri, ditambah berpuasa bicara apalagi kita gunakan lebih banyak fokus untuk berkomunikasi dengan Tuhan dalam bentuk tadarus Alquran, berzikir, atau shalat. Sudah tentu kita akan lebih mudah meraih janji Tuhan, yaitu meraih ketakwaan (la’allakum tattqun).

Berpuasa bicara (al-sukut dan al-shumt) mestinya bukan hanya dilakukan pada bulan suci Ramadhan, tetapi juga di luar Ramadhan. Idealnya berpuasa bicara ini menjadi kepribadian kita. Semakin banyak kita berbicara semakin terbuka peluang untuk memamerkan aib kita.

Semakin banyak bicara semakin besar peluang untuk berbohong. Kita tidak bisa menjamin apakah yang kita sampaikan kepada orang lain sepenuhnya benar atau sudah terjadi reduksi atau tambahan. Menambah atau mengurangi materi informasi yang kita sampaikan kepada orang sulit sekali untuk dikontrol.

 

Dalam suasana kampanye pilpres dan pertandingan sepak bola Piala Dunia, peluang untuk menyampaikan komentar yang mengandung nilai negatif sulit dikontrol. Apalagi jika subjektivitas kita larut dengan pilihan-pilihan tersebut. Mumpung masih awal puasa, mari kita mengamalkan puasa bicara!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement