Selasa 01 Jul 2014 13:00 WIB

Transformasi di Panggung Seni

Red:

Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ingin menepis jauh-jauh citra menara gading yang selama ini dilekatkan pada kampus seni. Sejak lima tahun lalu, institusi pendidikan seni kebanggaan Ibu Kota itu menggalakkan sebuah program kemitraan kampus dan kampung demi terciptanya transformasi keilmuan antarkedua pihak.

Kamis malam, 26 Juni lalu, semangat program tersebut diusung ke panggung dalam sebuah ajang bertema "Bluzzugan Bloes Betawi".

Bertempat di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, hajat "Bluzzugan Bloes Betawi" menampilkan kolaborasi para seniman IKJ dengan praktisi seni perkampungan Jakarta. Ajang tersebut diprakarsai oleh Sekolah Pascasarjana IKJ dalam rangka turut memeriahkan HUT ke-487 DKI Jakarta serta ulang tahun ke-44 IKJ.

Panitia pengarah menjelaskan, istilah "bluzzukan" (atau blusukan) yang mereka gunakan tidak ada kaitannya dengan figur politik manapun. "Kami sudah memakai istilah tersebut sejak lama," ujar musisi Ubiet Raseuki, alumnus IKJ yang turut mengarahkan konsep kegiatan tersebut.

Tiga kolaborasi sebagai suguhan utama menampilkan Irianto Suwondo, Imam Firmansyah, dan Rosmala Sari Dewi. Masing-masing dari mereka menggandeng kelompok seni masyarakat, yakni kelompok gambang kromong, jaipong, serta tanjidor. Membuka pementasan, Irianto Suwondo, musisi kawakan alumnus IKJ, memainkan sejumlah nomor blues milik seniman legendaris Betawi, Benyamin Sueb.

Lagu-lagu seperti "Malam Minggu" dan "Abang Pulang" dibawakan dalam iringan musik tanjidor, dengan tambahan beberapa alat musik orkestra. Para pemain tanjidor asal Kampung Jagakarsa itu sebagian sudah terlihat sepuh. Meski begitu, mereka tampak menikmati memainkan musik-musik yang sebelumnya tak pernah dalam daftar lagu mereka.

Lagu-lagu lawas yang sangat identik dengan sosok Benyamin Sueb itu dibawakan oleh penyanyi jenaka yang juga bergaya mirip almarhum. Ia mengenakan peci merah, kacamata besar, kemeja motif bunga, serta celana cutbray. Berkat aksi panggungnya yang kocak, pria berkumis tebal itu sukses mengundang sorak-sorai para penonton.

Arena pertunjukan berbentuk teater melingkar itu semakin semarak dengan kehadiran pementasan tari jaipong. Bersama rekan-rekannya dari grup jaipong Jatinegara, Rosmala Sari Dewi menyuguhkan tema "Tarung Batin", mengisahkan pergulatan hidup para penari jaipong pinggiran Jakarta. Dengan iringan tembang dan musik Sunda, beberapa penari perempuan dengan lincah berlenggak-lenggok di panggung.

Dua orang penari lelaki tampil ke panggung, lalu memilih pejaipong yang untuk diajak beradu tari satu lawan satu.

Begitulah potret kehidupan para penari jaipong pinggiran kota yang sepertinya ingin digambarkan Rosmala. Mereka berkesenian untuk mencari nafkah, tanpa bisa menghindari godaan-godaan dari para tamu mereka.

Rosmala dan kawan-kawannya lalu menarik beberapa penonton dengan selendang untuk ikut ngibing di depan. Para mahasiswa ikut ke panggung untuk menari. Panggung pun semarak diokupasi para penari amatir yang tampak sangat gembira.

Beres jaipong,  giliran Imam Firmansyah tampil bersama kelompok gambang kromong dari Kampung Condet. Dalam pengarahan Imam, gambang kromong tidak hanya berisikan tehyan, sukong, dan alat musik tradisonal teman-temannya yang lain.

Ensambel gambang kromong arahan Imam juga didukung dengan terompet hingga gitar listrik sehingga musik-musik tradisi yang dibawakan lebih ramah di telinga kaum muda, mayoritas hadirin yang menyaksikan pertunjukan tersebut.

Selain pertunjukan kolaborasi tersebut, acara dimeriahkan oleh berbagai aksi kreatif para mahasiswa dari berbagai jurusan. Beragam aksi konyol dan instalasi seni yang menghibur ditampilkan para mahsiswa, mulai dari pura-pura mati, bertapa, berdandan ala banci, menjadi tukang ojek, pemulung, dan lain sebagainya. Aksi mereka menjadi bagian penting dari kemeriahan ajang Bluzzugan Bloes Betawi.rep:c54 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement