Senin 30 Jun 2014 13:00 WIB

Mengendalikan Nafsu Belanja

Red:

Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri biasanya mengubah pola belanja umat Islam. Volume pembelian barang cenderung meningkat tajam, khususnya belanja barang yang akan dikonsumsi pada medio satu bulan penuh di bulan Ramadhan dan beberapa hari di bulan Syawal.

Menurut catatan Bank Indonesia (2014), inflasi pada Mei 2014 sebesar 7,32 persen, sedangkan Juni-Juli 2014 diprediksi akan meningkat sebesar 7,7 persen. Mencermati kenaikan inflasi yang terjadi tersebut memang terhitung kecil dan relatif stabil, artinya permintaan yang meningkat tajam tidak berpengaruh signifikan terhadap kenaikan harga-harga barang. Namun, berapa pun besarnya kenaikan inflasi, sulit untuk mengelak atas stigma bahwa umat Islam secara umum sebagai penyumbang inflasi bagi perekonomian di Indonesia, terutama pada rentang waktu menjelang bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.

Stigma itu cukup punya alasan karena memang biasanya harga barang-barang yang sudah terlanjur melonjak, cenderung tidak mau turun, sehingga dalam jangka panjang bisa saja terjadi penurunan purchase of power pada kelompok masyarakat paling bawah. Pertanyaannya adalah apakah ada yang salah dengan pola konsumsi umat Islam? Lalu bagaimana kegiatan konsumsi dalam perspektif Islam?

Apabila dicermati lebih jauh, ada hal yang kontraproduktif dari fenomena berulang setiap tahun itu. Pada bulan puasa, umat Islam tidak makan dan minum pada waktu pagi dan siang hari. Makan dan minumnya dikonversi pada malam hari dan waktu pagi hari menjelang subuh. Seandainya diasumsikan bahan-bahan yang dikonsumsi relatif sama dengan konsumsi di luar bulan Ramadhan, maka seharusnya tidak ada perubahan yang signifikan terhadap volume belanja. Namun kenyataan di lapangan menunjukan sebaliknya.

Artikel ini tidak akan masuk dalam persoalan bagaimana dampak berantai yang timbulkan atas perilaku umat Muslim tersebut. Dampak itu berupa adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan fenomena "nafsu berbelanja" saat Ramadhan dan menjelang Syawal, untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara tidak wajar, sebagaimana dijelaskan Purbayu Budi Santosa (2014) pada opini di harian ini.

Ada beberapa konsep Islam tentang kegiatan konsumsi. Pertama, bahwa makan dan minum dibutuhkan manusia hanya sebatas untuk memulihkan tubuhnya, agar tetap bisa melanjutkan seluruh aktivitas kehidupannya. Hal ini sebagaimana disabdakan Nabi SAW, "Tak ada tempat yang paling jelek dalam diri manusia jika dipenuhi (sesuatu) melebihi dari perutnya. Hendaknya manusia mengisi perutnya dengan makanan yang cukup untuk menegakkan punggungnya. Jika lebih dari itu, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk napasnya." (HR Tirmidzi)

 Kedua, barang konsumsi dalam pandangan Islam hanya ada dua jenis yang terkait langsung dengan moralitas dan ideologis, yaitu at-tayyibaat dan ar-rizq. At-tayyibat berarti barang yang baik (halal), bersih, suci, indah, dan jenis makanan di antara yang terbaik. Dalam konteks ini, berarti barang-barang yang buruk artinya kurang bermanfaat, bahkan menimbulkan mudarat bagi diri sendiri dan lingkungannya seperti, minuman keras dan rokok, misalnya bukan merupakan barang konsumsi dalam pandangan Islam (al-Maidah: 88; al-Baqarah:168).

Sedangkan ar-rizq adalah makanan dari Tuhan, pemberian Tuhan, anugerah dari langit, maknanya Allah pemberi rahmat yang sebenar-benarnya dan pemasok kebutuhan semua makhluk (Yaasin: 47). Dalam konteks ini, barang-barang konsumsi adalah barang-barang yang baik dan berguna, yang manfaatnya memberikan dampak perbaikan secara material, moral, dan spritual bagi konsumennya (Kahf, 1995).

Ketiga, terkait dengan kegiatan berbelanja (konsumsi), Islam melarang israaf (pemborosan) dan tabzir (penghamburan uang tanpa ada manfaatnya). Israaf adalah penggunaan harta secara berlebih-lebihan sehingga melanggar syariah Islam dalam hal mengonsumsi makanan, minuman, pakaian, dan rumah, bahkan sedekah. Tabzir berarti menggunakan harta dengan cara yang salah, maksudnya adalah harta yang dimiliki, digunakan untuk tujuan-tujuan yang melanggar syariah Islam, seperti penyuapan, berzina, membeli barang haram, dan sebagainya.

Keempat, Islam menganjurkan pola belanja dan penggunaan harta secara moderat dan berimbang, yaitu suatu pola yang terletak di antara kekikiran dan pemborosan. Sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Furqan ayat 67 yang artinya, "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian."

Kelima, membelanjakan harta dalam Islam tidak hanya sebatas pada barang konsumsi, namun juga harta yang dialokasikan untuk menguatkan solidaritas sosial umat Islam melalui zakat, infak, dan sedekah (Yaasin: 47).

Dengan demikian, puasa tidak hanya menahan diri makan, minum, dan syahwat pada siang hari, tetapi juga mengendalikan diri dari nafsu berbelanja secara berlebihan. Sehingga kita berharap, umat Islam pada Ramadhan tahun ini dapat menjalankan ibadah puasa dengan menemukan makna esensial Ramadhan.

Imron Rosyadi

Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement