Sabtu 28 Jun 2014 12:00 WIB

Jalan Cinta di Bulan Suci

Red: operator

oleh:Said Aqil Siroj -- Tak terasa, kita berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan pada tahun 2014. Puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sejak terbit fajar sampai matahari terbenam. Meski perbuatan yang membatalkan puasa lebih banyak aktivitas fisik, tapi harus menjauhi perbuatan yang merugikan orang lain.

“Banyak di antara umat Islam yang tidak mendapati apa-apa (hasil) dari puasanya, kecuali rasa lapar dan haus (al hadis).” Jadi, hakikat dari puasa, sebagaimana tersirat dalam makna dasar kata al-shiyam, adalah pengendalian diri (self control).

Al-Ghazali bercerita tentang sirr, atau rahasia di balik ritual. Misalnya, puasa bukan sekadar menahan makan dan minum, tapi juga mengendalikan diri dari segenap perbuatan dilarang Allah. Jadi, ada unsur akhlaknya. Al-Ghazali membedakan antara khalq dan khuluq. Khalq adalah gambaran lahir atau tubuh kita, sementara khuluq gambaran batin.

Dalam Ihya Ulumuddin termuat dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah dilapori ada seseorang rajin puasa siang dan shalat malam, tapi menyakiti tetangga dengan lidahnya. Apa kata Rasulullah? “Hiya fin nar (dia di neraka).”

Hubungan baik dengan Tuhan diukur dari hubungan baik dengan manusia (hablun minan nas). Alquran mengatakan bahwa orang yang membanggakan ritus-ritus agama, tapi tidak ada buktinya dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya, sombong, suka kekerasan, dan tidak punya empati pada penderitaan orang, mereka pendusta agama. Ayatnya, “Tahukah Engkau siapa para pendusta agama? Mereka adalah orang yang tidak peduli pada anak yatim.”

Jalan cinta

Kaum sufi—kata Abul Husein al Nuri—adalah manusia bijak di antara umat manusia. Ketika orang memburu karunia Tuhan, sang sufi merindukan keintiman dengan Tuhan. Ketika banyak orang menampilkan kekuatannya, sang sufi menyendiri seraya berdoa, memohon kasih bagi mereka.

Ketika sufi Bayazid al-Busthami dipukul anak muda dengan seruling, ia mengganti kerusakannya dengan uang dan makanan. Ketika Abu Hasan Bu sanji ditinju seseorang, ia memaafkannya. Ketika Abu Ali Rudbari dipukul kepalanya oleh seseorang dengan kendi, ia meng hiburnya, hingga orang tersebut lupa akan rasa malunya dan kembali riang.

Semua itu dimungkinkan, karena jalan yang ditempuh kaum sufi adalah jalan cinta. Jalan cinta bukan melalui pemikiran, melainkan penghayatan dan pengamalan jiwa yang bergerak tiada batas (la nihayata lah). Tuhan didekati melalui cinta, keagungan, dan rahmat Ilahi, intimasi (al-uns) bersamanya tercapai.

Para guru sufi membangkitkan sikap persahabatan yang menguntungkan dan pelayanan (khidmah) kepada sesama umat manusia, tanpa beda dan mendukung perkembangan kualitas yang tersimpuh dalam potensi setiap individu. Sikap dan perilaku para sufi dijangkari perasaan cinta sejati, seperti yang terungkap herois dalam kata-kata Abu Hasan al-Kharaqani, ”Sekiranya aku dapat

mati demi semua umat manusia, sehingga tidak perlu menunggu kematian.”

Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual atau yang disebut dengan futuwwah, yakni kualitas positif dari kepribadian manusia, seperti kejujuran, keterusterangan, dan kejernihan pikiran. Etika ini membuat hati jauh dari kedengkian, tidak merusak diri dengan perbuatan salah, dan berharap dunia damai.

Nah, aksi kekerasan berwujud apa pun, termasuk fanatisme, membabi buta dalam mendukung capres sehingga melahirkan ‘teror’ berbentuk kampanye negatif/kampanye hitam dan aksi tawuran antarpendukungnya menunjukkan betapa spirit dan solidaritas kemanusiaan tipis dan menghilang dalam kehidupan keberagamaan, ber bangsa, dan bernegara di Indonesia. Manusia memosisikan keyakinannya atau partainya sebagai basis ideologi yang puritan dan eksklusif, sehingga tak mau menerima ‘yang lain’ sampai pupus relasi dengan kemanusiaan. Pemahaman demikian telah me ngubur secara mendalam spirit dan solidaritas kemanusiaan.

Sikap santun

Memahami apa pun secara tekstualistik mendatangkan sikap ekstrem. Alquran tidak melegitimasi sedikit pun segenap perilaku dan sikap yang melampaui batas. Ini disebut ghuluw, yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Ada juga yang disebut tatharruf, yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat.

Titik puncak keberagamaan seseorang terletak pada sikap arif (al-hikmah). Sisi ini merupakan pemahaman yang moderat dan sikap yang mengedepankan qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbekas pada jiwa), dan qaulan tsaqila (per kataan yang berat). Nah, ibadah puasa hendaknya mengukuhkan umat Islam sebagai komunitas santun, memelihara  kasih sayang, toleran, dan egaliter.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement