Jumat 27 Jun 2014 13:03 WIB
tasawuf

Puasa: Perspektif Syari’ah, Tarekat, dan Hakikat (3)

Red:

Dua perspektif terdahulu (Sya ri’ah dan Tarekat) masih menekankan ritual pua sa sebagai kewajiban yang mesti ditaati dan ini sangat benar, sesuai dengan ketetapan Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa se bagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."(QS al- Baqarah [2]:183).

Perspektif Syari’ah sangat menekankan aspek formal puasa itu dengan kedisiplinan terhadap asas rukun dan syarat puasa. Sedikit apapun pelanggaran rukun dan syarat puasa akan berakibat fatal atau terancam batalnya puasa itu.

Di dalam kitab Fath al-Mu’in dicontohkan, jika seseorang akan memasukkan benang ke dalam jarum biasanya dibasahi dengan air liur dengan menjilat ujung benang itu, agar tegak dan gampang memasukkan ke dalam lubang jarum. Jika benang itu benang putih tidak mengancam batalnya puasa. Akan tetapi jika benang itu berwarna dan lunturannya bergabung dengan air liur masuk ke dalam tenggorokan maka itu mengancam batalnya puasa.

Dalam perspektif tarekat sudah beranjak dari level fomal dan memasuki wilayah hikmah lebih mendalam di balik puasa. Sesuai dengan namanya, Ramadhan, menurut bahasa berarti membakar dan menghanguskan. Salah satu puasa yang paling penting ialah puasa bulan Ramdhan yang sebentar lagi akan tiba.

Selain menunaikan kewajiban puasa Ramadhan yang merupakan salahsatu rukun Islam itu, diharapkan dengan puasa ini mampu menghanguskan dosa-dosa masa lampau, mulai dosa kecil sampai dosa be sar. Puasa Ramadhan diharapkan pula mampu membakar semangat jihad, ijtihad, mujahadah, dan semangat riyadhah, yang pada saatnya membantu kita untuk mencapai tingkat kedekatan diri dengan Allah SWT.

Dalam perspektif hakikat, kedua lapisan tersebut sudah dilalui. Puasa bagi komunitas ahli hakikat sudah tidak menekankan keistimewaan luar biasa, termasuk keutamaan bulan Ramadhan. Betapa tidak, karena kehidupan sehari-harinya sudah sedemikian akrab dengan puasa, dengan kata lain puasa sudah menjadi habit-nya.

Bagi mereka puasa bukan hanya menahan lapar, dahaga, dan hubungan suami isteri, sebagaimana telah diuraikan dalam artikel terdahulu, tetapi puasa sudah lebih merupakan wacana spiritual (batiniah). Puasa bagi mereka seperti puasa sepanjang masa (daim).

Ada istilah yang sering didengar dari me reka, yaitu meskipun kita sudah berbuka tetapi tetap harus berpuasa. Mereka tidak ingin membatalkan puasanya meskipun sudah berbuka. Artinya, secara formal sudah berbuka tetapi ia masih tetap memuasakan pikirannya untuk memikirkan sesuatu selain Allah SWT, memuasakan ingatannya untuk mengingat sesuatu selain Allah SWT, memuasakan keinginannya selain keinginan untuk taqarrub ilallah, memuasakan harapanharapannya untuk berharap selain ridha Allah SWT.

Sedetik pun ia tidak mau membatalkan puasanya meskipun sudah berbuka secara fi sik. Ia merasa puasanya batal manakala berkeinginan selain keinginan tunggalnya mencapai mardhatillah.

Puasa Ramadhan bagi golongan terakhir ini tidak begitu luar biasa, karena ia merasakan sepanjang bulan adalah bagaikan Ramadhan baginya. Ia selalu menunaikan berbagai macam ibadah seperti seruan untuk melakukan berbagai macam amaliah Ramadhan. Dengan kata lain, amaliah sehariharinya sepanjang bulan bagian amaliah Ramadhan bagi orang awan.

Mereka tidak tertarik lagi dengan janji pahala yang berlipat ganda di dalam bulan Ramadhan, karena menjalankan puasa bukan mencari pahala, seperti orang-orang awam dan khawash. Ia sudah masuk kategori pengamal puasa khawashul khawash, yang tidak lagi berharap pahala atau berkah, karena satu-satunya harapan mereka hanya Allah semata.

Ia menjalankan ibadah puasa bukan karena ingin masuk surga atau takut masuk neraka. Ia juga menjalankan puasa bukan untuk memperoleh berkah kehidupan dunia dan akhirat. Bagi mereka perbedaan dunia dan akhirat sudah sedemikian tipis sehingga tidak lagi terkesima dengan janji-janji orang terhadap Ramadhan. Bagi mereka ambil itu surga, ambil semuanya, mereka sudah cukup hanya memiliki dan hidup di dalam genggaman Tuhan.

Puasa para ahli hakikat sama sekali tidak pernah dirasakan sebagai suatu masalah seperti beban, lapar, dahaga, dan pembatasan fi sik lainnya. Bagi mereka puasa, sebagaimana kewajiban-kewajiban keagamaan lainnya seperti shalat dan , lebih dirasakannya sebagai sesuatu yang maha indah. Mereka merasa nyaman dengan berbagai kewajiban agama sehingga tidak terasa lagi puasa itu sebagai sebuah kewajiban tetapi sebagai kesenangan batin. Semoga kualitas puasa kita semakin meningkat. Selamat menikmati bulan puasa!

Prof Dr Nasaruddin Umar

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Wakil Menteri Agama RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement