Sabtu 21 Jun 2014 19:18 WIB

Pastor John Berharap Presiden Terpilih Perhatikan Papua

Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto saat debat capres putaran dua di Jakarta, Ahad (15/6)
Foto: antara
Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto saat debat capres putaran dua di Jakarta, Ahad (15/6)

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Kalangan aktivis berharap presiden terpilih nanti memperhatikan dan menerapkan kebijakan yang memihak Papua agar provinsi paling timur Indonesia itu juga mengalami kemajuan yang signifikan, dan tidak terus terbelenggu dalam persoalan pelanggaran HAM.

"Presiden terpilih nanti harus punya 'political will' atau kebijakan baik untuk Papua, karena Papua telah menjadi perhatian nasional hingga internasional terkait masalah pelanggaran HAM," kata Pastor John Jongga, dari Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP) di Jayapura, Sabtu.

Dikatakannya, perlindungan dan penegakan HAM merupakan syarat fundamental dari berjalannya negara demokrasi yang menghormati HAM rakyatnya.

Hal itu merupakan prinsip penting yang mendasari bahwa setiap pelaksanaan kekuasaan negara harus menjadikan HAM sebagai dasar pijakan demi terpenuhnya martabat manusia setiap warga Negaranya.

"Pemerintah seharusnya memperhatikan masalah HAM, sehinggga perlindungan kepada warganya lebih jelas dan tegas," katanya.

Kasus pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Papua hingga saat ini, kata penerima penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009 itu, cukup banyak, antara lain pelanggaran Hak Sipil dan Politik dalam bentuk pembatasan hak berekspresi.

Selain itu, masih maraknya kasus-kasus penembakan masyarakat sipil yang mengakibatkan berkurangnya perlindungan terhadap hak hidup dan hak rasa aman.

Demikian pula, kasus pelanggaran HAM masa lalu antara lain kasus Mapenduma pada 1996, kasus Wamena pada 1977 dan kasus Bela Alama yang sudah dilupakan.

Termasuk kasus kekerasan yang menimpa warga di Wasior, Papua Barat dan Wamena, Papua, yang merupakan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM, namun hingga kini masih belum ada kejelasan, atau masih terjadi perbedaan pandangan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

"Kasus ini sepertinya di ping-pong, hingga tidak ada kejelasan. Apa lagi beberapa waktu lalu kejaksaan mengembalikan kasus-kasus itu ke Komnas HAM," katanya.

Sementara itu, Direktris Eksekutif Imparsial Poengky Indarti mengatakan, penyediaan sarana pendidikan dan kesehatan untuk rakyat yang masih buruk, serta meluasnya kasus-kasus korupsi, semakin melengkapi pelanggaran HAM di Papua.

Tidak hanya soal hak sipil dan Politik, melainkan juga hak ekonomi sosial dan budaya.

"Kebijakan pemerintah berupa Otonomi Khusus untuk Papua yang dituangkan dalam UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 telah dianggap gagal oleh sebagian besar masyarakat Papua. Dan hal ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan membahas rancangan UU Otsus Plus tanpa pelibatan masyarakat Papua," katanya.

Selain itu, berbagai upaya masyarakat sipil di Papua untuk mendesak segera diselenggarakannya dialog damai antara pemerintah dan perwakilan masyarakat Papua untuk menciptakan perdamaian di Papua, hingga saat ini juga masih belum mendapatkan tanggapan yang serius dari Presiden RI Sosial Bambang Yudhoyono.

"Karena itu, kami berharap, presiden terpilih nanti mempunyai hati yang tulus dan iklas menyelesaikan sejumlah persoalan di Papua atau pun daerah lainnya di Indonesia," katanya.

Pada Pilpres 9 Juli 2014 diikuti oleh dua pasangan capres dan cawapres yakni Prabowo Subianto - Hatta Rajasa dan pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement