Jumat 20 Jun 2014 12:00 WIB
tasawuf

Puasa: Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (2)

Red:

oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar -- Puasa ahli syariah (fikih) masih sangat standar. Masih terbatas pada pelaksanaan puasa yang mengacu pada syarat wajib, syarat sah, dan sunah-sunah puasa. Puasa ahli tarekat (ahl al-thariqah) lebih dari sekadar puasa standar.

Mereka memaknai puasa puasa lebih dalam sebagaimana dikatakan Sayid Haidar al-Amuli: "Al-Shaumu ‘indahum  ba’da qiyamihim bis shaumi ‘ibaratun ‘an imsakihim ‘an kulli ma yukhalif ridhallah wa awamirihi wa nawahihi qaulan kana au fi’lan. ‘Ilman kana au ‘amalan." (Puasa bagi mereka setelah melaksanakan puasa dimaksud merupakan ‘ibarah untuk meninggalkan segala hal yang bertentangan dengan apa yang diridhai Allah, dari berbagai perintah dan larangan-Nya, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan, baik berupa pengetahuan maupun amalan).

Pengertian puasa tersebut di atas jelas luas karena yang harus berpuasa bukan hanya organ tubuh secara biologis seperti mulut dan kemaluan, melainkan juga meliputi pancaindra lahir dan pancaindra batin.

Puasa yang demikian inilah mengantarkan seseorang untuk meraih keutamaan Allah SWT. Sebagaimana disabdakan Nabi, "Likulli hasanatin bi’asyri iamtsalihim sab’u miah dhi’fun illas shaum, fainnahu li wa ana ajzi bihi" (Setiap amal kebajikan dibalas dengan 10 sampai 700 pahala, kecuali puasa "untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya" -dengan mengutip kata Tuhan).

 

Puasa adalah ibadah paling istimewa karena satu-satunya ibadah yang akan dibalas langsung oleh Allah SWT hanya ibadah puasa. Pahalanya pun tidak menggunakan rumus biasa, tetapi Allah SWT yang akan mengukurnya. Keutamaan ibadah puasa ini juga disebutkan dalam hadis: Likulli syai’in babun wa babul ‘ibadah al-shiyam (Segala sesuatu mempunyai pintu dan pintu ibadah ialah puasa).

Banyak lagi ayat dan hadis yang mengistimewakan puasa di atas ibadah-ibadah lainnya, sebagaimana sering kita baca dan dengar.

Puasa ahli tarekat betul-betul mensterilkan diri dari sentuhan segala sesuatu yang bersifat syubhat apalagi haram. Membebaskan nafsu dari syahwat dan membersihkan amal ibadah dari kecenderungan riya, dan menghindarkan diri dari berbagai ujub dan pujian. Puasa yang demikian ini diharapkan bukan hanya mengantarkan orang untuk menggapai ketakwaan seperti janji Allah SWT: La’allakum tattqun (QS al-Baqarah[2]:183), tetapi juga menemui Allah (liqa’ Allah) sebagaimana disebutkan di dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 110.

Sesuatu yang paling ditakuti ahli tarekat ialah perbuatan syirik di dalam ibadah. Bagi mereka, syirik dalam ibadah ialah adanya unsur riya di dalam setiap ibadah yang dilakukan. Perwujudan riya di dalam diri mulai dari yang paling halus sampai terang-terangan.

Mungkin seseorang dapat mendeteksi syirik dalam bentuk kasar seperti menyembah berhala, tetapi sulit mendeteksi syirik dalam bentuk amat halus, yang digambarkan Rasulullah SAW dalam hadisnya: Dabibus syirku fi ummati akhfa min dabibun namlatus sauda’ ‘alas shakhratis shama’ fil lailatid dhuluma’i (Syirik itu merayap di dalam diri umatku lebih halus daripada rayapan semut hitam di atas batu hitam di tengah kegelapan malam).

Bagi ulama kebanyakan mengartikan syirik di sini dengan riya, meskipun menurut ulama ahli hakikat (ahlul haqiqah) syirik dimaknai dengan: Ru’yah al-gair ma’a wujudil haqqi ta’ala (menyaksikan sesuatu selain wujud Allah SWT).

 

Riya adalah senjata ampuh setan di dalam menghancurkan potensi dan kekuatan manusia dan syirik merupakan wujud kehancuran manusia di mata Tuhan. Karena itu, Ali bin Abi Thalib mengingatkan bahwa riya paling dekat dengan syirik (Inna adnar riya’ al-syirk).

Salah satu hikmah puasa bagi ahli tarekat ialah untuk menyempitkan peredaran setan di dalam diri manusia. Rasulullah pernah mengatakan: Innas syaithan yajri fi ibni Adam majrad dam. Fadhayyiqu majarihi bil ju’i (Sesungguhnya setan mengalir di dalam diri anak cucu Adam mengikuti aliran darah, persempitlah aliran setan itu dengan kelaparan).

Dalam hubungan inilah Rasulullah bersabda: Idza dakhala Ramadhan futihat abwabal jannah, wa gallaqat abwaban nar, wa shuffidatis syayathin, wa nada munadin ya bagiyal khair halumma, way a bagiyas syar iaqshar (Jika masuk bulan Ramadhan, maka terbukalah pintu-pintu surga, tertutuplah pintu-pintu neraka, setan-setan dibelenggu, lalu terdengarlah panggilan: Wahai pencari kebaikan kemarilah dan wahai pencari keburukan menyingkirlah).

Puasa di kalangan ahli tarekat kelihatan tidak terlalu menekankan pahala, tetapi begaimana dia bisa menjadi lebih bersih selanjutnya bisa dekat dan lebih dekat lagi dengan Tuhannya, sebagaimana dilukiskan di dalam Alquran: Wa huwa bil ufuqil a’la, tsumma dana fa tadalla, fakana qaba qausaini au adna. (Sedang dia berada di ufuk lebih yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka, jadilah dia dekat (sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (QS an-Najm [53]:7-9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement