Jumat 20 Jun 2014 12:00 WIB
zakat

Alquran di Bumi Betawi

Red:

Sebentar lagi kita memasuki bulan Ramadhan, bulan Alquran. Disebut bulan Alquran bukan hanya karena Alquran turun pada bulan Ramadhan, tetapi merupakan bulan umat Islam rajin membaca Alquran.

Di Betawi, istilah membaca Alquran adalah mengaji. Dulu, anak-anak Betawi tidak diajarkan yang lain sebelum bisa mengaji karena bagi orang Betawi, tidak bisa ngaji adalah aib. Maka, umumnya orang-orang tua di Betawi dulu dan sampai sekarang, sangat memperhatikan pendidikan baca Alquran bagi anak-anaknya.

Sebelum ada metode Iqra dan yang sejenisnya, metode yang digunakan guru mengaji di Betawi adalah metode Baghdadiyah. Disebut metode atau kaidah Baghdadiyah karena metode ini berasal dari Baghdad, muncul pertama kali pada masa pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah. Selain itu, karena tidak atau belum diketahui pasti siapa penyusun dari metode ini maka oleh para penggunanya metode ini dinamakan dari tempatnya berasal, Baghdad.

Sekarang ini masih banyak guru ngaji di Betawi yang tidak mau menggantikan metode Baghdadiyah ini dengan metode lain. Ada beberapa alasan yang membuat mereka tetap menggunakan metode Baghdadiyah ini. Di antaranya, yaitu pertama, metode ini merupakan metode yang telah diajarkan oleh guru mereka secara musalsal (tersambung dari guru-guru sebelumnya), memiliki sanad, dan mereka merupakan pelanjut dari guru mereka yang telah diijazahi untuk mengajarkan metode ini.

Kedua, metode Baghdadiyah diyakini lebih baik, lebih unggul, dari metode-metode lainnya karena metode ini bukan menargetkan murid bisa cepat mengaji, tetapi yang sangat penting, si murid bisa mengaji dengan makhraj dan tajwid yang benar.

Keyakinan para guru ngaji di Betawi bahwa metode Baghdadiyah lebih baik dan lebih unggul dari metode-metode lainnya bukan tanpa alasan. Secara dikdatik, materi-materi Baghdadiyah diurutkan dari yang kongkret ke abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dan dari yang umum sifatnya kepada materi yang terperinci. 

Secara garis besar, metode Baghdadiyah memerlukan 17 langkah. Tiga puluh huruf hijaiyyah selalu ditampilkan secara utuh dalam tiap langkah. Seolah-olah sejumlah tersebut menjadi tema sentral dengan berbagai variasi. Karena itu, metode Baghdadiyah memiliki beberapa kelebihan, yaitu materi pelajaran disusun secara sekuensif, 30 huruf abjad hampir selalu ditampilkan pada setiap langkah secara utuh sebagai tema sentral, pola bunyi dan susunan huruf atau wazan disusun secara rapi, keterampilan mengeja yang dikembangkan merupakan daya tarik tersendiri, dan  materi tajwid secara mendasar terintegrasi dalam setiap langkah.

Namun demikian, metode Baghdadiyah memiliki beberapa kekurangan, di antaranya, adalah penyajian materi terkesan menjemukan, penampilan beberapa huruf yang mirip menyulitkan murid, dan memerlukan waktu lama untuk mampu membaca Alquran. Saya sendiri mengalami tiga kekurangan ini sewaktu kecil mengaji dengan metode Baghdadiyah yang diajarkan oleh seorang guru ngaji dari Betawi di daerah Petamburan, Jakarta Pusat.

Sejak kapan dan oleh siapa metode Baghdadiyah diperkenalkan dan diajarkan pertama kali di bumi Betawi? Dari kajian yang saya lakukan, metode Baghdadiyah kemungkinan diperkenalkan dan diajarkan pertama kali oleh Syekh Qurotul`ain, Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanuddin atau akrab dipanggil dengan nama Syekh Quro. Ia dipanggil Syekh Quro karena salah satu alasannya ia ahli ngaji atau qira`at yang sangat merdu. Tidak diketahui mengapa ia dipanggil Syekh Qurotul`ain atau Syekh Mursyahadatillah. Sedangkan, nama Syekh Hasanuddin diyakini sebagai nama aslinya.

Syekh Quro menyebarkan ajaran Islam di tanah Betawi ketika pada 1409 masehi, setelah berdakwah di Campa dan Malaka, Syekh Quro mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura hingga akhirnya sampai ke pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

Kedatangan Syekh Quro disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang masih keturunan dari Prabu Wastu Kencana. Demikian juga masyarakat di daerah tersebut yang sangat tertarik oleh sifat, sikap dan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro sehingga mereka banyak yang menyatakan memeluk agama Islam.

Kegiatan dakwah yang dilakukan Syekh Quro ini ternyata sangat mencemaskan Raja Pajajaran yang ketika itu dijabat oleh Prabu Anggalarang. Syekh Quro diminta oleh Raja Pajajaran ini untuk menghentikan kegiatan dakwahnya. Permintaan ini dipatuhi oleh Syekh Quro. Tidak lama kemudian, Syekh Quro mohon pamit, dan Ki Gedeng Tapa sendiri merasa prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama ulama basar itu.

Sebab, ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang agama Islam, karenanya ketika Syekh Quro kembali ke Campa, putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang dititipkan ke Syekh Quro untuk dididik agama Islam di Campa. Beberapa tahun kemudian, Syekh Quro kembali ke wilayah Pajajaran. Ia kembali bersama pengiringnya menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit.

Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang, Syekh Hasanuddin beserta para penggiringnya turun di Karawang. Di antara anggota pengiringnya tersebut adalah Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur, dan Syekh Abdillah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Mudofah. Karena perilaku yang simpatik, pada 1418, Syekh Quro dan pengiringnya diberikan izin oleh aparat setempat untuk mendirikan mushala sebagai sarana ibadah sekaligus tempat tinggal yang menjadi pondok pesantren di pertama di Karawang bahkan mungkin di Indonesia. Mushala ini juga menjadi cikal bakal Masjid Agung Karawang sekarang ini. Menurut Ridwan Saidi, masyarakat Karawang tempat Syekh Quro mengajar merupakan cikal-bakal masyarakat Betawi. Dari mushala tersebut, metode Baghdadiyah diajarkan Syekh Quro kepada masyarakat Betawi di Karawang.

Akhir kalam, pada bulan Ramadhan 1435H ini, pada hari pertama shaum Ramadhan, Jakarta Islamic Centre (JIC) melakukan kerja sama dengan Askar Kouny  mengadakan diklat untuk 5.000 Imam Masjid Menghafal Alquran Semudah Senyum oleh Ustaz Bobby Herwibowo Lc pada hari Sabtu, 28 Juni 2014, dari jam 08.30 - 11.30 WIB di Ruang Ibadah Utama Masjid JIC dan dilanjutkan pada Ahad, 20 Juli 2014 dari jam 14.00 - selesai. Diklat ini gratis, bagi yang berminat hubungi 081360387900.

  

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement