Senin 16 Jun 2014 16:29 WIB

Pesta Rakyat Sebenarnya

Red:

Kehadiran Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang digelar di kawasan Monumen Nasional (Monas) dinilai menjadi jawaban masyarakat dari ekonomi kelas menengah ke bawah untuk bisa menikmati 'pesta rakyat' sesungguhnya.

Empat puluh enam tahun lalu, tepatnya pada 5 Juni 1968, rakyat DKI Jakarta punya kegiatan rutin baru. Saat itu, di kawasan Monas, Presiden Soeharto membuka sebuah pesta rakyat yang disebut Djakarta Fair dengan melepas merpati pos. DF kemudian bersalin nama menjadi Jakarta Fair yang kemudian lebih populer dengan sebutan Pekan Raya Jakarta (PRJ).

Pesta rakyat yang digelar dalam memperingati hari jadi Ibu Kota itu saban tahun digelar di Monas. Seiring jalannya waktu, PRJ Monas bermetamorfosis dari sekadar 'pasar malam' menjadi ajang pameran modern yang menampilkan berbagai produk. Karena tak mampu lagi menampung peserta pameran, pada 1992, PRJ dipindahkan ke kawasan Kemayoran Jakarta Pusat dan berlangsung hingga kini.

Sayangnya, banyak masyarakat Jakarta, khususnya dari keluarga ekonomi kelas bawah, yang tidak bisa menikmati PRJ di Kemayoran. Banyak penyebabnya. Mahalnya tiket masuk menjadi satu dari sederet alasan PRJ Kemayoran sudah jauh melenceng dari falsafah 'pesta rakyat'.

Kegelisahan itu kemudian ditangkap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mulai 2013, PRJ kembali digelar di Monas, namun dengan nama Pekan Produk Kreatif Daerah (PPKD) 2013. Di PRJ versi Monas itu, para pengunjung dibebaskan biaya masuk. Bahkan, barang-barang yang dijual di PRJ Monas juga terjangkau oleh kantong masyarakat yang kurang dari segi ekonomi.

Pedagang kerak telur di PRJ Monas, Soleh (40 tahun) mengungkapkan kegembiraannya bisa mendapat stan gratis di PRJ Monas. Ia menganggap PRJ Kemayoran dan PRJ Monas tidak bisa disamakan lantaran target pasar yang berbeda. "Di sini kan gratis, jadi orang ke mari. Makanan juga lebih murah. PRJ Kemayoran mah mahal. Kerak telur aja bisa Rp 20 ribu, Rp 30 ribu, karena stan di sana mahal. Kalau di sini kan gratis, jadi murah," kata Soleh kepada Republika, Rabu (11/6).

Pedagang binaan Dinas Perindustrian ini mengatakan, PRJ Monas memang dibuat untuk rakyat. PRJ Monas dibuat sebagai alternatif kalangan menengah ke bawah yang belum bisa merasakan PRJ di JIExpo Kemayoran. Dengan harga tiket masuk yang tinggi, menurutnya, akan sulit bagi orang kecil untuk menikmati PRJ Kemayoran.

Pendapat senada disampaikan pedagang lain di PRJ Monas, Marlina (43). Perempuan yang menjaga stan Pengurus Wanita (PW) Islam DKI Jakarta ini berpendapat, PRJ Monas merupakan wadah bagi pedagang kelas menengah ke bawah untuk menuangkan kreativitas dalam berjualan apa saja tanpa dipungut biaya.

"Kalau di sana (PRJ Kemayoran) middle-up lah ya. Lagian di sana (PRJ Kemayoran) apa-apa bayar. Kalau di sini (PRJ Monas) kan pesta rakyat, pasar rakyat gimana sih. Jadi, bebas lah, gratisan semuanya. Harganya juga bisa dipenuhi kantong-kantong menengah ke bawah," kata dia.

Kehadiran PRJ Monas dinilai Eli Darti Koto (48), pedagang pakaian Muslimah UKM binaan Jakarta Barat, sangat membantu perekonomian kecil. Apalagi, 90 persen pedagang kaki lima dan pelaku UKM mendapatkan stan. "Memang lebih enak di sini sih (PRJ Monas). Aksesnya lebih banyak. Kalau ke sana (PRJ Kemayoran) tuh memang khusus mau ke sana. Harus punya kendaraan, soalnya aksesnya jauh. Parkir jauh, parkir pun mahal," ucap dia.

Tidak hanya para pedagang yang bersukacita, di mata pengunjung PRJ Monas dinilai lebih baik ketimbang PRJ Kemayoran. Ditemui Republika, Rabu (11/6), Eksa (40) dan Handi (40), pengunjung PRJ Monas, mengatakan sangat mendukung pesta rakyat yang hanya berlangsung lima hari dari 10 Juni hingga 15 Juni.

Menurut mereka, PRJ memang seharusnya dibuat untuk rakyat. "Kalau sekarang sudah jauh beda. Sudah bukan untuk rakyat. Sekarang sudah ke bisnis. Kalau dulu kan memang untuk rakyat, tidak bayar. Pedagang kecil dapat tempat," kata Handi mengomentari PRJ Kemayoran. "Ini kan buat dagangan rakyat kecil, kalau di sana kan buat yang mewah-mewah. Jauhlah bedanya, fasilitasnya segala macam. Harganya jauh beda," kata Eksa menimpali.

Eksa dan Handi pun mendukung jika PRJ Monas memang ingin dibuat menyaingi PRJ Kemayoran. Bahkan, kalau bisa PRJ Monas juga diselenggarakan selama satu bulan. "Nggak apa-apa nyamain dan di sini juga harus profesional. Harus ditingkatkan," ujar Handi.

Meningkatkan profesionalitas, menurut Handi, salah satunya adalah dengan memperbaiki penataan tenda-tenda tempat berjualan. Saat ini, menurutnya, penempatan tenda masih kacau dan membuat pengunjung kebingungan. "Untuk tenda, penempatan-penempatannya. Display-nya juga. Walaupun tradisional, tapi harus rapilah. Display-nya yang bagus," katanya.

Dari segi produk yang dijual PRJ Monas dan Kemayoran pun berbeda. Santi (38), pengunjung PRJ Monas lainnya, punya pendapat. "Di sana kan memang punya produk lebih variatif. Kayak ada mobil otomotif, handphone. Di sini, barangnya ya buat rame-rame aja gitu," kata Santi yang datang bersama dua orang anaknya.

Perempuan yang datang bersama dua anaknya itu menambahkan, "Tapi beda ya pasarnya. Walaupun sudah ke sini, tapi kalau mau ke PRJ Kemayoran lagi, beda lagi ya. Karena di sana kan stan-stannya beda." rep:c82 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement