Jumat 06 Jun 2014 14:00 WIB

Belajar di Tengah Kepungan Sampah

Red:

Apa yang Anda pikirkan tentang lokasi pembuangan akhir sampah? Pasti yang ada di benak Anda adalah tumpukan sampah yang sudah membusuk dan memunculkan bau tidak sedap. Tapi, pemandangan berbeda terlihat di RT 001/RW 004 Ciketing Udik, Bantar Gebang, Kota Bekasi.

Di tengah-tengah tempat pembuangan akhir sampah DKI Jakarta itu, terdapat kegiatan belajar-mengajar. Tempat belajar itu didirikan Yayasan Terang Sejahtera Indonesia (YTSI), empat tahun lalu. Lokasi bangunan itu tepat di pinggiran Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. 

Saban sore, puluhan anak usia SD hingga SMP mengikuti les tambahan tanpa dipungut biaya. Mereka mendapat pelajaran dari beberapa guru YTSI untuk pelajaran matematika, bahasa Inggris, serta musik tradisional.

"Banyak sekali anak yang ikut belajar. Daripada mereka cuma bermain kan lebih baik belajar," ujar Dewi (19 tahun), penjaga gedung YTSI Bantar Gebang, kepada Republika, Rabu (4/6).

Menurut Dewi, semua perlengkapan belajar telah disediakan YTSI di dalam bangunan itu. Sehingga, anak-anak tinggal datang dan belajar. "Buku-buku dan peralatan lain sudah disediakan. Kadang juga ada bantuan peralatan sekolah," kata gadis asal Indramayu itu.

Hebatnya, para pengajar di YTSI yang bukan hanya guru lokal, melainkan juga guru dari luar negeri didatangkan untuk mengajar bahasa Inggris. Selain mengadakan kegiatan pembelajaran, terkadang YTSI juga mengadakan pengobatan gratis.

Keberadaan lembaga tersebut dinilai memberikan banyak manfaat. Anak-anak jadi mengenal alat musik tradisional, seperti angklung, dan alat musik modern, seperti organ dan pianika.

Menurut Dewi, di permukiman tersebut, ada anak usia sekolah yang tidak sekolah. Kalau pagi, mereka ikut memulung plastik, kemudian sorenya mereka ikut belajar. "Paling tidak mereka bisa ikut belajar," ucap dia.

Salah satu anak yang ikut belajar di YTSI, Akbar (12), mengaku senang bisa mendapat pelajaran tambahan. Siswa kelas V SD itu paling gemar mata pelajaran matematika. "Sudah lumayan bisa karena setiap sore saya ikut les tambahan di sini," ujar dia.

Akbar yang tinggal di permukiman pemulung itu mengaku sering membantu ibunya memulung plastik. Hal itu dia lakukan sepulang sekolah. Dia memulung plastik bersama ibunya dengan berbekal karung.

Biasanya, Akbar mendapat enam karung plastik setiap hari. Setelah terkumpul, sorenya dia menjual plastik-plastik itu kepada juragan plastik. Enam karung plastik itu biasa dihargai Rp 35 ribu. "Nanti uangnya dikasihkan ibu," ujar dia.

Namun, saat tidak memulung plastik, Akbar biasanya bermain dengan teman sebayanya di tengah permukiman itu. Seusai memulung, Akbar menunggu waktu les tambahan bersama teman-temannya.

Mayoritas, rumah di permukiman tersebut terbuat dari kayu dan bambu seukuran gubuk. Di beberapa sudut, terdapat tumpukan sampah plastik yang telah dipilah. Tak ayal, bau kurang sedap tercium dari segala arah. Namun, warga yang tinggal seakan tidak terganggu dengan bau tersebut. rep:c87 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement