Jumat 06 Jun 2014 13:00 WIB
tasawuf

Shalat Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (4)

Red:

oleh:Prof.Dr Nasaruddin Umar -- Dalam sebuah perjalanan spiritual, seorang mursyid berjalan bersama para muridnya. Salah seorang muridnya menghampiri dirinya dan bertanya, “Ampun Syekh kita menuju ke mana?” Syekh tetap berjalan tanpa menjawab petanyaan muridnya.

Tidak lama kemudian, sang syekh menyapa muridnya, “Maaf, Nak, saya tadi masih sedang shalat. Kita terus saja melanjutkan perjalanan, di depan nanti kita belok kanan memotong jalan.” 

Sang murid mengikuti petunjuk syekhnya sambil bertanya di dalam hati, bagaimana caranya syek shalat sementara ia tetap berjalan. Dalam kesempatan lain, ada juga beberapa murid menyapa dirinya tetapi bergeming, tetap ia duduk, berdiri, atau berjalan dengan tenang. Akhirnya sang murid menyimpulkan bahwa syeknya dalam segala kesempatan selalu shalat. Ada shalat yang dilakukan secara normal seperti orang-orang lain, berdiri, rukuk, sujud, dan duduk. Dalam kesepatan lain ia juga selalu shalat walaupun hanya dalam hati.

Pengalaman syekh di atas bukan hanya pengalamannya sendiri tetapi ternyata cerita yang sama banyak ditemukan di dalam dunia tarekat dalam berbagai aliran. Bahkan, ada jenis shalat yang dikenal dengan shalat da'im, yaitu shalat berlangsung terus menerus.

Terkait dengan ini banyak sekali para salik (penempuh jalan spiritual) tidak mau membatalkan wudhunya. Artinya begitu batal langsung berwudhu lagi karena shalatnya tidak ingin terputus sepanjang hari. Mereka tidak lagi menghitung jumlah rakaat, tetapi dalam berbagai kesempatan yang ada tidak pernah disia-siakan. Tadarusan Alquran juga dilakukan di dalam shalat. Hal ini mengingatkan kita kepada hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwa panjang sujudnya Nabi (jika shalat sendiri)  sama panjangnya menadaruskan surah al-Baqarah, dua setengah juz, dan rukuknya sama dengan menadaruskan surah Ali Imran, satu setengah juz.

Shalatnya kaum ahlul haqiqah tidak lagi terbatas hanya di dalam ikatan-ikatan formal, sebagaimana sering dilaksanakan. Hati mereka di dalam keadaan apa pun selalu terhubung (wushul) dengan Allah SWT. Namun, di sini jangan diartikan bahwa shalatnya ahlul haqiqah tidak lagi mengenal rukuk dan sujud.

Shalat-shalat rutin sama dengan orang lain, namun shalat dalam arti melakukan connecting dengan Tuhan mereka lakukan dengan caranya sendiri. Mereka bisa memperoleh kekhusyukan sejati, baik di dalam shalat formal maupun dengan shalat duduk atau dalam keadaan apa pun.

Hati mereka selalu mengamalkan rukuk-sujud di hadapan Allah SWT. Wajar jika para ahlul haqiqah lebih banyak menyendiri dan membatasi diri tampil di dalam kegiatan publik karena tidak ingin waktu shalatnya terpotong oleh kegiatan-kegiatan lain meskipun itu adalah kegiatan amal shaleh.

Bagi ahlul haqiqah  tidak lagi terikat dengan istilah waktu-waktu shalat (mawaqit al-shalah) karena waktu 24 jam sudah bersambung. Cara memahami ayat, “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS al-Isra'[17]:78), sebagai shalat siang dan malam dan semakin banyak dan lama semakin bagus sehingga hilang batas pemisah antara satu shalat dengan shalat yang lain, yang dalam fikih dikenal shalat lima watu.

Kualitas shalat mereka tidak perlu diragukan. Shalat ahli tarekat saja sedemikian dalamnya sehingga dilukiskan Nabi dengan, La shalata illa bi hudhur al-qalb (tidak ada shalat tanpa kehadiran kalbu).

Ada beberapa cerita konon ada orang yang sujud di dalam shalatnya berhari-hari walaupun ia menyangkanya sujud normal. Orang lain yang kemudian mengingatkan kalau sujudnya berhari-hari.

Pemandangan seperti ini juga pernah dialami Khidhir yang berada di dalam gua selama 309 tahun walaupun dirasakan hanya sesaat, sebagaimana dikisahkan di dalam Alquran, “Dan, mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS al-Kahfi [17]:25).

Jika shalat sudah menjadi puncak kesenangan, jika Allah SWT menjadi puncak pencarian, dan jika hamba berada di dalam kesadaran puncak maka perjalanan hidup akan dipadati dengan shalat, baik di dalam shalat dalam arti fikih, tarekat, maupun hakikat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement