Rabu 28 May 2014 16:30 WIB
tasawuf

Shalat, Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (3)

Red:

oleh:Prof Dr Nasaruddin

Umar Guru Besar Universitas Islam Negri(UIN)Syarif Hidayatullah Wakil Mentri agama RI.

Dalam perspektif tarekat, shalat lebih ditekankan pada fungsinya sebagai wushlah, yang menyambung dan menghubungkan antara hamba dan Tuhan.

Shalat bagi orang-orang tarekat (baca: salikin) bukan lagi menekankannya sebagai kewajiban karena bagi mereka shalat betul-betul dirasakan bukan sebagai beban, melainkan sebagai sebuah kenikmatan. Mereka merasakan tidak ada jaminan kenikmatan, kedamaian, dan kebahagiaan di luar shalat sehingga wajar jika mereka sepanjang hidupnya seolah-olah diperuntukkan shalat.

Mereka tidak lagi membatasi jumlah rakaat dalam shalat-shalat sunah. Mereka juga tidak membatasi waktu rukuk dan sujud. Semakin lama mereka rukuk dan sujud semakin terasa kenikmatan dan kebahagiaan itu.

Mereka menyungkurkan diri pada malam hari lebih lama. Semakin larut semakin syahdu dan semakin lama semakin nikmat. Mereka membenarkan sekaligus mencontoh shalat-shalat sunah malamnya Nabi di rumahnya, sebagaimana digambarkan ‘Aisyah bahwa lama sujudnya Nabi sama dengan membaca surah al-Baqarah dan rukuknya sama dengan membaca surah Ali Imran.

 

Bagi orang-orang yang “kecanduan” shalat atau zikir kepada Allah SWT perjalanan waktu tidak terasa. Lihatlah misalnya Ashhabul Kahfi yang melakukan pendekatan diri kepada Allah SWT di dalam Gua Kahfi selama 309 tahun. Sebagaimana dikatakan di dalam ayat, “Dan mereka tinggal di dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.” (QS al-Kahfi [18]:25).

Mereka merasa hanya sesaat di dalam gua, tetapi kenyataannya sedemikian lama. Mereka kaget setelah kukunya panjang sekali dan rambut mereka terurai ke mana-mana. Di luar gua mereka kaget menyaksikan pepohonan sedemikian tinggi besar. Mereka sadar setelah uang yang akan dibelanjakannya adalah uang antik dan yang beredar merupakan uang baru.

Ashhabul Kahfi tentu bukan merupakan rombongan pendaki gunung yang numpang berteduh di dalam gua. Mereka adalah para wali Allah yang senantiasa menunaikan ibadah secara khusyuk. Ini diketahui dari ayat sebelumnya, “Kecuali (dengan menyebut), ‘insya Allah’. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini’.”     

Para aulia juga duduk bertafakur selama berjam-jam, bahkan berhari-hari tanpa mereka merasakan perasaan lelah. Kisah di antara para Wali Songo juga diceritakan banyak keajaiban di dalam menjalani ibadah dan zikir.

Shalat yang menghadirkan kalbu itulah shalat paling baik bagi para ahli tarekat. Nabi juga pernah mengingatkan, “La shalata illa bi hudhur al-qalb (tidak ada shalat tanpa kehadiran kalbu).”

Para ulama fikih memahami hadis ini tidak batal shalat seseorang jika tidak khusyuk, tetapi hanya berpengaruh pada pahala dan kesempurnaan shalat. Khusyuk dalam shalat tidak termasuk rukun shalat sebagaimana dibahas di dalam artikel terdahulu. Bagi ahli tarekat ada di antara mereka meragukan keabsahan shalatnya jika banyak tidak khusyuk. Karena itu, ia mengulangi shalat fardhu yang dilakukan tidak dengan khusyuk.

Tidak mudah kita melakukan shalat dengan penuh kekhusyukan. Karena itu, kalangan ahli tarekat melakukan kebiasaan sebelum melaksanakan shalat, antara lain, betul-betul mempersiapkan diri untuk menghadap kepada Tuhan di dalam shalat.

Mereka melaksanakan wudhu dengan khusyuk karena mereka beranggapan orang yang tidak khusyuk di dalam berwudhu sulit dibayangkan akan khusyuk di dalam shalat. Mereka tidak mau berkata-kata duniawi antara pelaksanaan wudhu dan shalat karena mereka yakin energi dan kekuatan wudhu akan tergerus melalui dosa-dosa kecil dan karenanya sulit mengantarkan kita untuk khusyuk di dalam shalat.

Mereka selalu mengawali shalat-shalatnya dengan berpakaian rapi dan bersih karena mereka beranggapan sulit meraih kekhusyukan shalat dengan berpakaian sembrono. Kalau perlu, mereka menggunakan wangi-wangian atau parfum dengan mencontoh Rasulullah SAW.

Mereka juga selalu konsisten memasang sajadah di tempat yang tetap karena mereka yakin akan lebih nyaman shalat di tempat yang sudah menjadi lokus sakral. Tidak sedikit di antara mereka membuat zawiyah, sebuah bilik khusus untuk shalat yang tidak terganggu dengan pandangan orang lain.

Mereka bisa menangis terisak-isak, sujud berlama-lama, dan berzikir dengan khusyuk tanpa ada yang mengganggunya dari luar. Zawiyah hanya bisa diisi oleh benda-benda “akhirat” dan tidak memasukkan benda-benda duniawi, seperti telepon genggam, laptop, TV, dan buku-buku bacaan biasa.

Di dalam zawiyah hanya ada sajadah tua tetapi murni halal, tasbih pupus karena lamanya dipakai, Alquran usang karena seingnya dibaca, dan piama atau mukena bersih dan halal.

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=738312
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement