Senin 26 May 2014 14:25 WIB

guru menulis- Mendidik dengan Keteladanan

Red:

Arbai, Guru SMPN 1 Kluet Timur, Aceh Selatan

Hari-hari ini jagad pendidikan kita dalam guncangan. Betapa tidak, belum reda pemberitaan tindakan kekerasan seksual yang terjadi di TK Jakarta Internasional School (JIS), kembali kita dikejutkan dengan tindakan kekerasan yang berujung pada kematian seorang mahasiswa yang disebabkan oleh senior kepada juniornya.

Seperti diberitakan berbagai media nasional, aksi kekerasan terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) milik Kemenhub di Jakarta Utara. Seorang mahasiswa, Dimas Dikita Handoko (19 tahun), meninggal dunia dengan luka memar di tubuhnya. Korban diduga tewas akibat dianiaya oleh seniornya.

Ini bukan kali pertama kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada junior yang menyebabkan kehilangan nyawa. Masih segar dalam ingatan kita pada kematian Fikri Dolasmantya Surya (20), mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN)  Malang yang juga diduga disiksa seniornya hingga menemui ajal pada 12 Oktober tahun lalu. Pada saat itu, Fikri dan teman-temannya sedang mengikuti kegiatan Bhakti Desa (ospek) di kawasan Goa China Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing, Malang.

Terus berulangnya tragedi kekerasan di sekolah yang berujung pada kematian yang dilakukan oleh senior kepada juniornya perlu mendapatkan perhatian yang serius. Adanya kekerasan ini menunjukkan masih lemahnya pola pendidikan yang berbasis karakter di sekolah.

Atau, mungkin saja pendidikan karakter tidak disertai dengan keteladanan. Banyak pendidik yang tidak menunjukkan sikap baik, ramah, sopan, dan saling menghargai. Patut diingat dalam membentuk karakter, sikap dan keteladanan haruslah lahir dari keseharian pendidik.

Ketidakberhasilan pendidikan karakter dan pendidikan agama dalam menekan tindakan kekerasan di kalangan siswa lebih disebabkan kecendrungan pendidik dalam pengajaran pendidikan karakter yang menekankan pada definisi atau pengertian-pengertian karakter. Padahal, yang dibutuhkan siswa bagaimana mereka bisa memaknai dan melaksanakan serta menerapkan budi pekerti mulia dalam kesehariannya.

Pun, dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah siswa hanya diajarkan pada cara ritual daripada melahirkan spiritual. Artinya, pembelajaran agama hanya pada tataran kulit luar dan tidak sampai pada esensi nyata di balik perintah agama.  

Lalu, Sukarno pernah mengingatkan dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi Djilid 1 bahwa manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hatinya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia bisa mengajarkan apa yang ada padanya. Jadi, intinya bahwa pendidikan apa pun yang diinginkan haruslah diikuti dengan tindakan nyata, laku keseharian si pendidik.

Siswa yang berkarakter tidak akan hadir begitu saja. Pun, yang menjadi persoalan pada saat ini. Tidak semua pendidik mengerti tugas dan fungsinya. Banyak guru yang hadir sekadar menggugurkan kewajiban saja. Sehingga, ia lupa dalam mengobservasi perilaku siswanya. Inilah tantangan nyata pendidikan kita pada saat ini: orang pintar banyak, tapi minim yang terpelajar. Pun guru banyak tapi hanya sedikit yang bisa mendidik.

Sudah saatnya kita mengingat kembali ide dan visi Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, yang menekankan bahwa pendidik identik dengan keteladanan. Ia harus hadir menjadi pencerah dan pembawa laku baik bagi siswanya. Ini diikuti dengan kultur saling asah, saling asih, dan saling asuh. Kultur ini bagian karakter wajib yang harus dimiliki pendidik. Sebab, ia akan diwariskan kepada siswanya melalui sikap kesehariannya.

Jadi, dapat diduga kekerasan yang terus bersemayam di sekolah tidak lepas dari kegagalan pendidik dan sekolah membentuk karakter ramah dan saling mengahargai. Ini menjadi alarm bahaya pada dunia pendidikan kita. Seperti ungkapan “When character is lost, everything is lost”.

Arbai, Guru SMPN 1 Kluet Timur, Aceh Selatan

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=737987
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement