Jumat 23 May 2014 13:33 WIB

Menghidupkan Masjid

Red:

oleh;Ratna Ajeng Tejomukti/hannan putra

Jumlah masjid belum diimbangi kemakmuran.

Semakin terus bertumbuhnya populasi Muslim, turut berimbas pada bertambahnya jumlah masjid. Faktor lain bertambahnya masjid, ujar Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Darukuthni, adalah saat masyarakat Muslim mengalami pengembangan keagamaan.

Bertambahnya hunian penduduk berpengaruh pada perlunya masjid sebagai sarana ritual keagamaan dan kegiatan masyarakat. Saat ini masjid yang terdapat di Indonesia biasanya dikelola secara swadana. Pemerintah tidak turut campur secara khusus melalui pembangunannya.

“Kalaupun ada, biasanya hanya masjid setingkat gubernuran, bukan perencanaan yang masuk program kerja pemerintah,” ujarnya.

Imam menyebut saat ini jumlah masjid belum merata di seluruh Indonesia. Masjid terbanyak masih berada di Pulau Jawa. Menurut DMI, di Indonesia ada 300 ribu masjid dan 500 ribu mushala yang terdata.

Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia, setiap satu masjid dapat mengakomodasi 250 jamaah.

Imam menilai bahwa pertumbuhan masjid ini masih kurang diikuti upaya memakmurkannya. “Memakmurkan masjid bukan hanya mengenai shalat berjamaah karena itu sudah dasar dan kewajiban setiap Muslim,” katanya. Hal paling penting, yakni ketika mengembalikan fungsi masjid seperti pada masa Rasulullah sebagai pusat komunitas.

Masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah saja. Tetapi, di dalamnya terdapat fungsi sosial, pendidikan, dan ekonomi. Masjid tidak hanya perlu dimakmurkan oleh jamaah, tetapi juga harus mampu memakmurkan jamaah. Saat ini, DMI telah memberdayakan masjid dalam bidang pendidikan dari usia dini hingga orang lanjut usia.

Program tersebut telah diselenggarakan di 1.150 masjid dengan mendirikan PAUD bekerja sama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Tahun ini pihaknya berharap terdapat 3.000 masjid yang dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas PAUD.

Imam berharap masjid tidak hanya ramai saat shalat berjamaah saja setelah itu kosong. Selain pendidikan, masjid juga perlu melakukan pemberdayaan ekonomi. DMI pun menginisiasi simpan pinjam di masjid berdasarkan sistem syariah. “Masyarakat kita pola pikirnya masih meminjam di rentenir atau ke orang dengan bunga besar,” katanya.

Imam berharap program pemberdayaan masjid untuk memakmurkan dan dimakmurkan jamaah ini dapat berjalan secara berkesinambungan.

Pengelolaan keuangan masjid yang konvensional pun harus diubah. Infak yang terkumpul jangan sampai mengendap dan hanya digunakan untuk perbaikan dan kebersihan. “Gulirkan buat modal atau bantu masyarakat sekitar masjid agar tidak kelaparan.”

Direktur Yayasan Masjid Nusantara Muhammad Sobirin mengatakan bahwa saat ini masjid yang bagus dan megah semakin banyak, tetapi tidak disertai dengan kemakmurannya. “Banyak masjid mewah yang dikunci khawatir masyarakat yang datang mengotori,” ujarnya. Masjid, ia mengungkapkan, hanya ramai saat shalat Jumat saja, tetapi sangat sepi ketika shalat fardhu.

Menurut Sobirin, sepinya masjid saat ini dipengaruhi oleh kesadaran jamaah. “Sekreatif apa pun manajemen masjid, kalau tidak ada kesadaran dari umat maka tidak ada masjid yang dapat dimakmurkan,” katanya.

Setelah itu, baru dipikirkan manajemen masjid atau perbaikan fisik jika memang sudah dianggap tidak layak. Pelatihan pengelola masjid dan santunan bagi marbot juga penting.

Budaya Barat dengan gaya hidup hedonis pun berpengaruh pada pola pikir umat Islam di Indonesia yang tak acuh pada keberadaan masjid. Begitu juga dengan kepercayaan imam yang senior dengan yang lebih muda.

“Jika ide pengembangan masjid dari orang yang lebih muda terkadang tidak dihiraukan, padahal orang muda saat ini banyak belajar lebih cepat dan lebih banyak ide,” kata Sobirin.

Ketua Gerakan Pembangunan Kebiasaan Shalat Berjamaah (GPKSB) Akhmad Tefur SSi menambahkan, shalat umat Islam masih memprihatinkan. Menurut Tefur, pembangunan masjid dari segi fisik mungkin sudah banyak yang berhasil. Tapi pembangunan dari segi fungsional, banyak yang belum berjalan optimal.

“Secara fisik mungkin pembangunan masjid sudah seratus persen. Tapi secara fungsional, mungkin baru satu persen. Misalnya, masjid dengan kapasitas seribu jamaah, tapi yang shalat hanya sepuluh orang. Itu kan satu persen,” ujarnya.

Menurut Tefur, masjid harus dikembalikan lagi kepada fungsi utamanya, yaitu sebagai tempat shalat dalam rangka ber-ubudiyah kepada Allah. Percuma saja masjid diramaikan dengan kegiatan bazar islami hingga pengajian sekalipun jika yang shalat di dalamnya masih sedikit. “Masjid itu artinya tempat sujud, yakni untuk shalat. Itu fungsi utamanya. Jangan sampai fungsi utama ini diabaikan dan lebih ditonjolkan fungsi-fungsi yang lain,” katanya tegas. ed: hafidz muftisany

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=737617
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement