Kamis 22 May 2014 16:00 WIB
hikmah

Said bin Amir

Red:

(oleh:Bahrus Surur-Iyunk)-- Ketika khalifah Umar bin Khatthab memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Suriah, ia menoleh ke kiri dan ke kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya. Tiba-tiba Umar berseru, “Saya telah menemukannya! Bawa ke sini Said bin Amir!”

Tak lama kemudian datang Said menemui sang Amirul Mukminin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Homs. Said menolak, “Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah.”

Dengan nada keras Umar menjawab, “Demi Allah, saya tak hendak melepaskan Anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafah di atas pundakku, lalu tuan-tuan meninggalkan daku?” Semua terdiam. Senyap. Sejenak, Said dapat diyakinkan.

Said dan istrinya yang pengantin baru itu pun berangkat ke Homs. Suatu ketika, tatkala khalifah Umar berkunjung ke Homs, beliau mendapat keluhan dari rakyat Homs tentang Said bin Amir. Mereka mengadukan empat hal.

Pertama, “Said baru keluar menemui kami setelah matahari tinggi. Kedua, ia tidak mau melayani seseorang pada malam hari. Ketiga, setiap bulan ada dua hari di mana ia tak mau keluar menemui kami. Keempat, sewaktu-waktu ia bisa jatuh pingsan.”

Umar tertunduk dan memohon ampun kepada Allah, kemudian mempersilakan Said membela diri. Said berkata, “Wahai Khalifah, mengenai tuduhan mereka bahwa saya tak hendak keluar sebelum matahari tinggi, demi Allah, sebetulnya saya tak hendak menyebutkannya. Tapi, karena ini bagian dari pertanggungjawaban saya kepada rakyat yang saya pimpin maka saya akan menjelaskannya. Keluarga kami tak punya pembantu maka sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti dan kemudian wudhu untuk shalat Dhuha. Setelah itu, barulah saya keluar menemui mereka.”

“Tuduhan bahwa saya tak mau melayani mereka pada waktu malam maka demi Allah, saya benci menyebutkan sebabnya. Seharian saya sediakan waktu bagi mereka dan malam harinya saya ingin peruntukkan kepada Allah. Sedangkan ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di mana saya tidak menemui mereka, maka sebagaimana saya katakan tadi, saya tak punya banyak pakaian untuk dipergantikan maka terpaksalah saya mencucinya dan menunggu sampai kering hingga baru dapat keluar di waktu petang.”

Said kemudian melanjutkan penjelasannya. “Mengenai keluhan, saya sewaktu-waktu jatuh pingsan karena ketika di Makkah dulu saya telah menyaksikan jatuh tersungkurnya Khubaib al-Anshari yang tubuhnya dipotong-potong oleh orang Quraisy. Lalu, mereka membawanya dengan tandu sambil menanyakan kepadanya, ‘Maukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedangkan kamu berada dalam keadaan sehat walafiat?”

Dalam deraan siksaan yang keji, Khubaib menjawab, “Demi Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak istriku diliputi keselamatan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah ditimpa bencana walau oleh hanya tusukan duri sekalipun.”

Menurut Said, setiap terkenang peristiwa itu, tubuhnya gemetar karena takut akan siksa Allah hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan. Mendengar jawaban itu, Umar terharu dan meneteskan air mata, lalu dirangkul dan dipeluknya Said, serta diciumlah keningnya. Subhanallah.

Dari kisah ini orang mungkin akan bertanya, masih adakah pejabat dan pemangku kekuasaan seperti Said bin Amir? Di tengah realitas politik kekuasaan negeri ini yang cenderung negatif, sosok keteladanan Said menjadi penting untuk direnungkan.

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=737553
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement