Sabtu 22 Mar 2014 12:17 WIB

Privatisasi Air Harus Dihentikan

Air Bersih (ilustrasi)
Air Bersih (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengelolaan sumber daya air oleh swasta harus dihentikan. Pemerintah tidak boleh takut mengakhiri privatisasi air yang merupakan kebutuhan hidup utama manusia.

Peneliti dari Universitas Greenwich, Inggris, Emanuele Lobina mengatakan, hampir semua negara sudah mengevaluasi bahkan menolak privatisasi air. Saat ini, kata Lobina, pelayanan air di 400 kota besar di dunia dikelola swasta. Namun, sudah terjadi 100 kasus pengembalian pengelolaan air bersih ke pemerintah atau warga (remunisipalisasi). “Tren pengakhiran kontrak pengelolaan air oleh swasta di berbagai negara kini semakin banyak dilakukan,” kata Lobina dalam diskusi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kamis (20/3).

Di Amerika Serikat, remunisipalisasi terjadi di Kota Atlanta, Milwaukee, dan Indianapolis. Di Eropa, pengakhiran kontrak privatisasi air terjadi di Kota Paris, Berlin, dan Budapest. Hal serupa dilakukan Kota Johannesburg, Buenos Aires, Bogota, dan Kuala Lumpur. “Meskipun di setiap kota beda konteksnya, tapi isu privatisasinya sama,” ujarnya.

Menurut Lobina, remunisipalisasi oleh kota-kota di AS dan Prancis melalui pengadilan dengan gugatan publik. Namun, pemutusan kontrak itu mesti didukung pemerintah. “Pastinya ada taktik perusahaan untuk membuat pemerintah takut (untuk mengakhiri kontrak) dengan menunjukkan angka-angka besar sehingga ragu,” katanya.

Padahal, jika pemerintah tegas dan warga berkomitmen penuh, pengakhiran privatisasi air bisa sukses dilakukan. Berdasarkan penelitian Lobina di Kolombia, Pemerintah Bogota hanya membayar kompensasi relatif kecil. Bahkan, di Kota Dar-es-Salaam, Tanzania, pemerintahnya tak membayar kompensasi dalam terminasi kontrak dengan perusahaan air swasta.“Remunisipalisasi berarti layanan air mendahulukan kepentingan masyarakat,” ungkap Lobina yang juga peneliti di Public Services International Research Unit (PSIRU).

Kepala Bagian Penanaman Modal, Promosi, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta Pujiono menerangkan, pemprov kini sedang berupaya mengambil saham PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). Palyja adalah penyedia layanan air bersih di wilayah barat DKI Jakarta sejak 1 Februari 1998 melalui 25 tahun kerja sama dengan PAM Jaya. Proses pembelian saham Palyja kini masuk penentuan harga. “Kita sangat berhati-hati dari sisi legalnya, pemprov sudah menyewa pengacara yang ahli,” katanya.

Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta mengatakan, LBH melayangkan gugatan atas dasar pemerintah menyubsidi investor asing agar tidak rugi. Pada saat yang sama, masyarakat miskin banyak yang tak punya akses air bersih dan warga mesti membayar mahal untuk layanan air bersih. LBH menuntut diubahnya kebijakan privatisasi dan membatalkan perjanjian kerja sama. Namun, Febi tak yakin Pemprov DKI bisa merealisasikan pengambilan saham Palyja.

Ketua Badan Pengawas PAM Jaya Haryo Tienmar berpendapat, DKI lebih baik bekerja sama dengan perusahaan lokal daripada perusahaan asing agar pengelolaan air di Jakarta bisa lebih baik. Saat ini sedang dicari cara tepat untuk memutus hubungan dengan Palyja. n c67 ed: eh ismail

Informasi dan berita lain selengkapnya sila dibaca di Republika, terimakasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement